JAKARTA - Kebebasan berekspresi di Indonesia dinilai berjalan mundur. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya pemenjaraan terhadap wartawan karena pemberitaan. Kasus terakhir adalah pemenjaraan terhadap wartawan senior Bersihar Lubis oleh Pengadilan Negeri Depok-Jawa Barat, pada 20 Februari lalu. Bersihar dihukum satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan karena tulisannya pada Koran Tempo (Maret 2007) dianggap menghina Kejaksaan Agung dan melanggar Pasal 207 KUHP. Bagaimana menyikapi keputusan tersebut? Sejauh mana kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dan Bekti Nugroho anggota Dewan Pers dengan Redaktur Senior Koran Tempo Bambang Harymurti:
Apa komentar Anda terhadap keputusan itu?
Saya kira ini satu kasus yang mempertanyakan apakah kejaksaaan itu tahu bahwa Indonesia sudah merdeka atau belum. Masalahnya, pasal mengenai "penghinaan" yang terdapat dalam KUHP bikinan Belada itu sudah dicabut. Bila ditelusuri, waktu itu ada perdebatan di Belanda tentang penerapan pasal itu. Maka ada kompromi bahwa pasal itu hanya berlaku di daerah jajahan Belanda. Buktinya, ketika tahun 1920-an Bung Karno terkena pasal ini di Indonesia dan Bung Hatta juga dikenakan pasal ini di negeri Belanda. Tapi di Indonesia Bung Karno divonis 4 tahun penjara, sedangkan Hatta dibebaskan. Nah sekarang pasal yang berlaku di negara jajahan ini diterapkan oleh Jaksa dan Hakim di Indonesia yang sudah merdeka. Jangan-jangan mereka merasa Indonesia masih dijajah. Saya juga kuatir bahwa Hakim dan Jaksa itu merasa lebih hebat dari Presiden dan Wapres. Karena menurut konstitusi, pasal yang menghina presiden dan wapres itu sudah dicabut. Nah, menghina Jaksa dipenjara. Mereka lebih hebat akhirnya.
Mengapa masih ada aparat penegak hukum yang melakukan itu?
Jaksa dan Hakim itu lupa bahwa kita sudah hidup di era reformasi, bukan Orde Baru. Karena itu hal ini juga harus dikoreksi. Tapi mereka belum menyadari itu. Kita berharap pengadilan tinggi bisa membatalkan putusan itu. Kita berharap juga pendidikan di kejaksaan dan kehakiman direformasi. Bahwa pasal penghinaan itu sudah tidak sesuai dengan konstitusi, dan kehidupan bermasyarakat. Karena itu tidak boleh digunakan lagi.
Sudah ada beberapa wartawan dipenjara. Jangan-jangan ada sebuah persepsi yang salah dan belum selesai tentang kebebasan pers?
Kasus yang menimpa Dahri Nasution pemimpin redaksi Oposisi di Medan karena berita dugaan korupsi terjadi tahun 1999. Tapi sampai di MA masih kena juga. Mudah-mudahan hal ini karena kealpaan saja. Kita ajukan PK dan sudah disidang. Dewan Pers juga sudah mengirim saksi ahli dan fakta. Mudah-mudahan kasus ini segera diputuskan. Kasus Risang di Jogya juga sedang sidang PK. Mudah-mudahan bisa segera diputuskan sebelum 3 Mei, yakni Hari Pers Dunia. Sehingga pada tanggal itu tidak ada lagi wartawan yang dipenjara karena pemberitaan.
Ini membuktikan Jaksa dan Hakim belum reformis?
Ya. Seharusnya mereka tidak mengambil keputusan itu karena beberapa alasan. Pertama, tahun 2005 kita sudah meratifikasi Covenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (SIPOL) melalui UU Nomor 12. Dengan itu, maka wartawan tidak bisa dipenjarakan lagi karena pemberitaan. Lain kalau dia memeras, karena itu kategori pidana. Juga melalui UU Pers, kalau menolak hak jawab maka bisa dipidana denda. Bahkan di ASEAN, Indonesia menjadi pendukung berdirinya pengadilan Hak Asasi Manusia Regional. Dimanapun di dunia ini, pengadilan HAM itu pasti tidak memperbolehkan orang dipenjara karena pemberitaan atau ucapannya. Artinya, kita tidak konsisten menerapkan aturan itu. Ternyata, ada unsur pemerintah yang telah reformis tapi ada juga yang belum. Bahkan ketua MA pernah mengeluarkan keputusan bahwa dalam sebuah kasus yang berkaitan dengan pemberitaan maka yang didahulukan adalah UU Pers. Itu yang dialami Tempo dan beberapa kasus lain. Menurut saya, itu lebih tepat karena kalau hakim mengikuti doktrin internasional, yang universal yakni pidana, adalah jalan yang terakhir ditempuh. Kalau ada jalan lain, hak jawab, perdata, UU Pers itu lebih dulu dipakai. Kok semua ini belum dilewati langsung dipenjara.
Seberapa penting kebebasan pers dalam membangun demokrasi?
Penting sekali. Karena kebebasan pers sebetulnya anak kandung kebebasan berekspresi. Tanpa kebebasan berekspresi tidak mungkin ada demokrasi. Karena demokrasi intinya setiap warga punya hak untuk turut menentukan dalam segala hal menyangkut masyarakat banyak. Tanpa informasi yang tepat maka sebuah keputusan sudah dipastikan akan tidak tepat. Karena itu, penting dalam demorkasi bagi setiap warga untuk mendapatkan akses pada informasi yang tepat. Dan informasi yang tepat itu paling besar kemungkinannya tercapai kalau alur informasinya bebas. Sehingga tidak ada yang disembunyikan. Tanpa itu maka demokrasi juga akan mati. Karena kemerdekaan berekspresi, kata Amartya Zen seperti oksigen bagi demokrasi. Jadi kalau tanpa kemerdekaan berekspresi maka demokrasi mati.
Apa upaya Dewan Pers untuk meminimalisasi atau mencegah keputusan Jaksa itu?
Dewan Pers sudah minta LBH Pers untuk membantu, membuat PK dan memberikan saksi ahli. Kita juga kirim surat kepada MA dan penegak hukum lainnya. Kami juga minta masyarakat pers untuk layangkan protes. Aktivis kemerdekaan pers juga sudah menunjukkan sikap mereka. Mudah-mudahan itu ada artinya. Kita tidak katakan bahwa wartawan itu kebal hukum. Tapi siapapun dia, kalau mengemukakan hak konstitusinya agar tidak dipenjara. Karena itu kita dorong agar Bersihar Lubis dan pengacaranya mendorong kasus ini ke Mahkamah Konstitusi.* (by: Fransiskus Saverius Herdiman)
-------------------
Perbincangan (talkshow) di Radio 68H ini terselenggara atas kerjasama Dewan Pers, Yayasan TIFA, dan Radio 68H.