BOGOR - Dewan Pers bersama komunitas pers akan segera membuat pedoman atau standar teknis Hak Jawab. Melalui pedoman ini diharapkan masyarakat dapat memahami ketentuan tentang penggunaan hak Jawab. Sedangkan untuk pengelola pers, pedoman ini merupakan petunjuk bagaimana sebaiknya hak jawab dilayani.
Demikian salah satu rekomendasi peserta ”Diskusi Pakar Mengkaji UU Pers: Potensi dan Penerapannya” yang diselenggarakan Dewan Pers atas dukungan Yayasan TIFA di Bogor, Jawa Barat, 29 Februari – 1 Maret lalu. Diskusi yang dibuka oleh Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., ini dihadiri sekitar 25 orang pakar dari perwakilan organisasi pers, perusahaan pers, akademisi, pengamat pers, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Peserta diskusi umumnya berpendapat pedoman tentang Hak Jawab perlu disusun karena banyak muncul persoalan dalam penggunaan Hak Jawab. Sering dijumpai pengguna Hak Jawab tidak puas dengan pemuatan Hak Jawabnya. Sedangkan pengelola pers merasa telah melayani Hak Jawab dengan baik dan proporsional. Persepsi berbeda tersebut tidak jarang berujung di pengadilan.
Karena itu, pedoman ini diharapkan dapat mencegah masuknya sengketa pemberitaan pers ke pengadilan akibat perbedaan pandangan tentang pemuatan Hak Jawab. Beberapa contoh memang menunjukkan masyarakat tidak bisa dicegah untuk tetap menuntut pers ke pengadilan meskipun mereka telah menggunakan Hak Jawab. Namun komunitas pers memiliki konsep ideal bahwa kasus pers cukup diselesaikan dengan Hak Jawab dan mediasi di Dewan Pers.
Dalam hal ini, peserta Diskusi Pakar berpendapat, masyarakat harus disadarkan bahwa penggunaan hak dalam sengketa pemberitaan juga terbatas. Batasannya, misalnya, kasus akan selesai melalui Hak Jawab atau mediasi di Dewan Pers. Maksudnya, jika muncul pandangan berbeda dalam pemuatan Hak Jawab maka Dewan Pers akan menjadi mediator untuk penyelesaiannya.
Persoalan Lain
Diskusi Pakar ini juga mengidentifikasi sejumlah persoalan dalam UU Pers yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu menyangkut etika jurnalistik dan ancaman hukum (Pasal 7); Pertanggungjawaban perusahaan pers (Pasal 12); Badan hukum perusahaan pers (Pasal 9); Sensor (Pasal 1); dan Penguatan Dewan Pers (Pasal 15).
Mengenai etika jurnalistik, muncul perdebatan di antara peserta. Ada yang menilai masuknya etika ke dalam UU Pers merupakan blunder yang dapat mengancam pers. Sebab, dengan dimasukkannya ketentuan agar wartawan menaati etika ke dalam UU Pers maka setiap pelanggaran etika dapat dianggap pelanggaran hukum sekaligus.
Sebaliknya, pendapat lain menganggap dengan masuknya etika ke dalam UU Pers telah membantu meminimalisir dampak negatif dari ”pers liar”. Alasannya, ”pers liar” yang melanggar etika tidak cukup diancam dengan sanksi moral, tetapi harus ada sanksi hukum yang mengancam mereka.
Sebenarnya, dengan masuknya etika ke dalam UU Pers tidak otomatis wartawan yang dituduh melanggar etika bisa dihukum melalui pengadilan. Sebab, sesuai Pasal 15 UU Pers, Dewan Pers berhak memberi penilaian ada atau tidak adanya pelanggaran etika pada setiap kasus sengketa pemberitaan pers di pengadilan. Dengan demikian setiap hakim yang menyidangkan kasus pemberitaan seharusnya meminta pendapat Dewan Pers.
Masih terkait ancaman hukuman terhadap pers, Dewan Pers direkomendasi untuk segera membuat rumusan operasional mengenai beberapa ketentuan di dalam UU Pers. Ketentuan yang dimaksud antara lain terdapat di Pasal 5 yang menyebut kewajiban pers untuk menghormati ”norma-norma agama”, ”rasa kesusilaan masyarakat”, dan ”asas praduga tak bersalah”. Sampai sekarang definisi ketiga hal tersebut dianggap belum jelas.
Pertanggungjawaban
Dalam Diskusi Pakar ini terungkap hanya sedikit perusahaan pers Indonesia yang mengumumkan secara terbuka nama penanggung jawab mereka. Padahal UU Pers secara eksplisit mewajibkan perusahaan pers untuk melakukannya.
Sistem pertanggungjawaban kolektif yang dianut UU Pers menegaskan pentingnya penanggung jawab di setiap perusahaan pers. Pers bebas memilih penanggungjawabnya. Pemimpin redaksi umumnya yang akan ditunjuk sekaligus sebagai penanggung jawab yang ”meliputi” bidang usaha dan redaksi. Kata ”meliputi” yang disebut dalam UU Pers ini bisa diartikan setiap perusahaan pers hanya memiliki satu penanggung jawab.
Dewan Pers rencananya akan membuat Kelompok Kerja (Pokja) untuk menindaklanjuti hasil-hasil diskusi ini. Pokja tersebut antara lain bertugas merumuskan lebih rinci pedoman tentang Hak Jawab dan sistem pertanggungjawaban perusahaan pers. Hasil kerja Pokja selanjutnya akan disahkan menjadi Peraturan Dewan Pers.*