Tayangan Alternatif Harus Terus Didorong

images

JAKARTA - Pada 19 Maret lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan penghargaan kepada program televisi terbaik tahun 2007. Kategorinya meliputi program dokumenter, sinetron lepas, berita investigasi, talkshow dan program anak. Penghargaan semacam ini perlu diapresiasi karena dapat memberikan masukan kepada masyarakat tentang program televisi seperti apa yang layak ditonton. Betapa tidak, tayangan televisi sekarang penuh dengan kekerasan, seks dan rumor, yang berdampak negatif bagi kehidupan keluarga, sosial, politik dan budaya masyarakat. Karena itu, tayangan berkualitas harus terus didorong. Bagaimana melakukannya? Apakah KPI Award yang dilakukan itu bisa mendorong munculnya tayangan berkualitas? Berikut, perbincangan Nanda Hidayat dari KBR 68H dan Anggota Dewan Pers Bekti Nugroho dengan Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi:

Apa komentar Anda terhadap KPI Award yang baru saja dilangsungkan?

Saya lihat dari segi positif saja. Karena ada yang mempertanyakan apakah pantas KPI sebagai lembaga kontrol memberikan penghargaan. Tapi karena tujuannya baik yakni menyampaikan program yang baik kepada masyarakat, maka harus diapresiasi. Yang penting bahwa penghargaan yang diberikan KPI itu ditentukan oleh badan dan orang independen, serta ahli pada bidangnya. Seperti Kak Seto (Seto Mulyadi). Jadi penilaian mereka objketif dan hasilnya memuaskan.

Mengapa kategori program berita tidak ikut diperlombakan?

Kalau masalah pers itu kita bicarakan sendiri lagi, antara KPI dan Dewan Pers. Karena masalah berita bukan KPI sendiri. Masalah berita masuk wilayah Dewan Pers. Jadi kalau bicara pers, KPI dan Dewan Pers bersama-sama. Tapi dalam kategori itu ada program investigasi. Itu sudah cukup. Dengan melakukan investigasi televisi menampilkan apa yang penting bagi publik.

Tayangan selama ini dinilai berbau kekerasan, seks, dan rumor. Harus ada tayangan alternatif?

Perlu sekali karena kenyataan banyak sekali acara atau program yang disiarkan TV bertentangan dengan UU Penyiaran yang mewajibkan menyiarkan informasi pendidikan, hiburan, yang bermanfaat untuk pembentukan intelektualitas bangsa, watak dan moral bangsa. Tapi yang banyak adalah horor, hantu, perkosaan, kekerasan. Padahal itu tidak mendidik. Padahal banyak tenaga profesional dalam industri pertelevisian. Cuma mengapa tayangan seperti itu tidak muncul.

Bagaimana Anda menilai isi pemberitaan televisi selama ini?

Kalau dari isi pemberitaaan masih sering terjadi pelanggaran, terutama pelanggaran etika. Masih banyak TV yang menyiarkan wawancara dengan anak korban perkosaan. Wajah anak itu memang dikaburkan tapi tidak cukup tebal, karena itu masih bisa dilihat. Seharusnya muka tidak boleh kelihatan. Selain itu masih banyak ditonjolkan wawancara dengan anak tanpa didampingi oleh orang tua atau pengacaranya. Itu tidak boleh. Selain itu banyak berita, terutama infotainment, yang hanya memberitakan pernyataan satu pihak. Jadi, verifikasi tidak terjadi pada saat yang sama.

Bagaimana penilaian Anda untuk berita kriminal?

Berita kriminal itu perlu kita tahu. Tapi apakah kekerasan itu harus dimunculkan secara telanjang, sampai darah yang berceceran juga ditayangkan? Saya kira tidak perlu ditampilkan. Juga soal rekonstruksi tidak perlu, karena belum tentu benar. Rekonstruksi kan hanya berdasarkan berita acara pemeriksaan polisi. Hanya dari pihak pengadu. Sedangkan dari pihak yang teradu tidak ditonjolkan.

Apa langkah yang sebaiknya dilakukan Dewan Pers agar tayangan semakin berkualitas?

Kalau dari segi berita, Dewan Pers dan KPI harus bekerja sama. KPI ada kesepakatan (MoU) dengan Kepolisian. Mereka harus berdayakan kesepakatan itu, terutama tentang pelanggaran. Dewan Pers menilai dari segi etika pemberitaan atau penyiaran. Dan itu dijalankan selama ini. Karena itu, KPI dan Dewan Pers harus bekerjasama, bukan hanya lewat telepon saja seperti selama ini. Mereka harus duduk bersama. Ketika Dewan Pers merekomendasikan ada pelanggaran etika, maka harus ditindaklanjuti oleh KPI. Karena KPI yang diberi wewenang untuk menindak.

Wapres Jusuf Kalla mengusulkan ada penghargaan kepada program televisi terjelek. Komentar Anda?

Memang, pada malah pemberian penghargaan itu Jusuf Kalla meminta pemberian penghargaan untuk program televisi terjelek. Hal itu dilakukan agar masyarakat mengetahui mana program yang tidak layak ditonton. Itu ide yang bagus. Karena di beberapa negara penghargaan seperti itu telah dilakukan. Misalnya, untuk artis berpakaian terbaik dan paling buruk.

Tradisi KPI Award ini positif?

Saya melihatnya positif. Mudah-mudahan hal ini mendorong produser televisi untuk menayangkan program terbaik, yang tidak hanya sekedar kejar rating saja. Sekarang ini kan banyak program yang hanya kejar rating. Padahal rating itu hanya berlaku di 10 kota besar saja. Selain itu, setahu saya, rating itu tidak pernah diaudit. Juga hanya satu perusahaan yang melakukan rating, jadi hasilnya monopoli. Masalahnya, juga tidak ada perusahaan Indonesia yang mendirikan lembaga rating.

Apakah KPI, Dewan Pers dan Kominfo bisa membuat lembaga rating?

Saya kira hal itu mungkin sekali. Tapi harus dibicarakan lebih jauh. Jangan sampai lembaga rating dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) itu menjadi alat kontrol. Karena kita tidak mau pemerintah mencampuri urusan publik. Barangkali KPI dan Dewan Pers, atau lembaga lain yang mendirikannya. Yang pasti, ke depan kita terus mendorong agar kontrol masyarakat terhadap pers ditingkatkan. Karena pers adalah perpanjangan tangan masyarakat untuk menyediakan informasi. (Sumber: Harian Jurnal Indonesia edisi Rabu, 26 Maret 2008. by: Fransiskus Saverius Herdiman)

Artikel ini disarikan dari talkshow di jaringan Radio 68 H yang terselenggara atas dukungan Dewan Pers dan Yayasan TIFA.

By Administrator| 27 Maret 2008 | berita |