JAKARTA - Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan kerjasama berbagai unsur untuk memberantasnya. Keberadaan pers profesional dapat membantu pemberantasan korupsi. Hal ini sejalan dengan peran pers sebagai pengontrol kekuasaan dan lembaga-lembaga pemberantas korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Informasi pers dibutuhkan sebagai pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.
Demikian pemikiran yang berkembang dalam dialog Dewan Pers yang disiarkan langsung TVRI, Jakarta, Selasa, 25 Maret lalu, bertema “Peran Pers Memberantas Korupsi”. Dialog ini menghadirkan pembicara Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto, dan redaktur harian Kompas, Budiman Tanuredjo, serta dipandu Wina Armada Sukardi.
Harapan agar pers memainkan peran memberantas korupsi hanya bisa muncul dari pers profesional. Sebab pers profesional, menurut Alamudi, mampu menjalankan peran kontrolnya dengan baik.
Untuk memaksimalkan peran pers, Ia mengingatkan penegak hukum tidak terburu-buru memeriksa wartawan jika ada pengaduan mengenai berita korupsi. Sebab dari pantauan Dewan Pers banyak wartawan diperiksa polisi karena memberitakan korupsi. Sedangkan tersangka koruptornya tidak pernah diusut. “Kalau ada sengketa pers dengan koruptor, koruptornya dulu yang diperiksa, bukan pers,” tandasnya.
Menurutnya wartawan saat ini menghadapi musuh baru yaitu pemilik modal. Karena itu wartawan profesional harus dilindungi dari tekanan pemilik modal. Ia juga menyinggung kebiasan pejabat memberi amplop kepada wartawan. “Kalau mau memberantas korupsi di pers, jangan beri amplop pada wartawan,” pintanya.
Hukuman tambahan
Berita pers tentang korupsi dibutuhkan sebagai pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.
Pemberantasan korupsi yang memerlukan keseriusan bisa cepat berhasil jika masyarakat sadar dan mau ikut memulai dari diri mereka. Namun menumbuhkan kesadaran masyarakat membutuhkan waktu lama. “Sudah semakin banyak yang menyadari itu,” kata Bibit Samad Rianto.
Saat ini, menurutnya, pers bebas menampilkan wajah tersangka koruptor. Ada dampak positif dan negatifnya. Liputan pers menyebabkan seorang tersangka merasa dipermalukan di hadapan masyarakat meski ia belum tentu bersalah. KUHP sendiri mengatur pemublikasian wajah koruptor sebagai hukuman tambahan.
Di tempat yang sama, Budiman mengingatkan, pers hanya salah satu aktor dari banyak aktor pemberantas korupsi. Minimal peran sebagai pembantu sangat mungkin dilakukan pers. Ia optimis sekarang ada banyak pers kredibel dan wartawan independen yang bisa ikut memberantas korupsi. Sebagai mengontrol, pers punya modal kekuatan moral. (red)
SMS PEMIRSA:
“Kenapa koruptor dibiarkan saja, sedangkan kami rakyat kecil makin tertindas!” (0852.66185xxx)
“Kesejahteraan individu kadang-kadang dikambinghitamkan sebagai biang kerok adanya korupsi. Padahal hal itu tidak menjamin, justru kebobrokan mental lah sumbernya.” (0813.40039xxx)
“Teori, korupsi dapat diberantas tapi realitasnya sulit karena mindset elit pimpinan. Kita sudah rancu dengan obyektivitas dan kepentingan individu.” (0818.08884xxx)
“Pers perang terhadap korupsi cuma wacana doang. Karena organisasi pers masih amburadul. Benahi dulu sistem pers nasional.” (0852.53243xxx)
“Pers belum fair, terutama di daerah dijadikan penguasa untuk menutupi kejahatannya.“ (0812.9182xxx)
“Hukum di Indonesia tidak bisa diperbaiki, karena politik di atas hukum.” (0812.68414xxx)
“Pers perang terhadap korupsi menurut saya hanya slogan. Karena bagaimana akan memerangi (jika) insan pers itu sendiri banyak yang wartawan amplop.” (0813.66771xxx)