Jakarta (Berita Dewan Pers) – Ancaman terhadap kebebasan pers, selain datang dari sistem kekuasaan yang otoriter, juga bisa dari masyarakat. Masih ada kelompok di masyarakat yang merasa kepentingannya terganggu oleh kebebasan pers. Mereka mencoba melakukan hal-hal yang mengancam kebebasan pers.
Pendapat tersebut dikemukakan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, saat menjadi pembicara diskusi tentang kekerasan terhadap wartawan di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (10/5/2011). Diskusi ini digelar untuk memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei 2011. Turut hadir sebagai narasumber yaitu Pemimpin Redaksi harian Kompas, Rikard Bagun, dan wartawan senior, Sabam Siagian.
Bagir Manan khawatir kekerasan terhadap wartawan merupakan pelampiasan masyarakat atas frustasi menghadapi kondisi politik, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini, posisi pers lemah dan mudah menjadi sasaran frustasi. Karena itu, kekerasan terhadap wartawan sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai persoalan hukum, namun juga persoalan kondisi masyarakat.
Ancaman terhadap kebebasan pers dapat pula berasal dari lingkungan pers. “Kemerdekaan pers dapat diancam oleh lingkungan pers sendiri, ketika pers tidak mampu memelihara kemerdekaannya dengan baik,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung ini.
Menanggapi berhentinya proses hukum atas beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan, Bagir mengajak kalangan pers untuk bersama melakukan tekanan. Tekanan itu hanya mungkin bisa dilakukan apabila kalangan pers bersatu.
“Satu satunya modal orang yang lemah adalah bersatu. Tidak ada yang lain. Kalau pers menyadari dirinya lemah, maka harus bersatu. Penting solidaritas antarkita. Kalau tidak, kita akan diperlakukan sewenang-wenang,” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan Sabam Siagian. Menurutnya, setiap kekerasan terhadap wartawan perlu disikapi sebagai hal yang tidak biasa. Kasus itu harus selalu diributkan oleh wartawan.
Mantan Pemimpin Redaksi harian The Jakarta Post ini memberi perhatian khusus atas kondisi kebebasan pers di Myanmar. Sesuai informasi yang diperolehnya dari pimpinan Yangon Media Group di Myanmar, Koko, saat ini Myanmar sedang berusaha menuju demokratisasi dan pengembangan kemerdekaan pers. Masalahnya, birokrasi di negara itu masih menahan-nahan perkembangan kebebasan pers.
Ia mengusulkan pers Indonesia membantu Myanmar dengan mengujungi negara tersebut untuk berbagi pengalaman dalam pengembangan kebebasan pers. Sehingga, kebebasan pers tidak dianggap sebagai anarki. “Ini demi kepentingan kita juga,” katanya.
Sementara itu, Rikard Bagun berpendapat, solidaritas regional atau global tentang kebebasan pers harus dimulai dengan konsolidasi internal pers, solidaritas antarperusahaan pers dan antarorganisasi pers. Ia menilai, konsolidasi internal dan solidaritas itu masih harus dibangun. “Kualitas pers kita masih kedodoran,” tambahnya.