JAKARTA - Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, menilai kehadiran jurnalisme warga mempertegas perubahan ke arah demokratisasi informasi. Kekuatan rakyat secara kolektif semakin menentukan kebenaran informasi yang disebarluaskan.
“Informasi tidak lagi didominasi kalangan elite. Jurnalisme warga memunculkan keberagaman informasi dan menentukan seperti apa informasi yang dibutuhkan warga,” katanya saat menjadi pembicara diskusi Etika Jurnalisme Warga yang digelar Dewan Pers beberapa waktu lalu di Jakarta.
Acara ini juga menghadirkan pembicara Suryopratomo, Corporate Advisor Media Group, dan Priambodo RH, Pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Diikuti puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Jurnalisme warga menjalankan peran layaknya jurnalis. Karena itu, menurut Bambang, perkembangan jurnalisme warga mencuatkan lagi persoalan tentang ”jurnalis sebagai profesi terbuka”. Semakin sulit membedakan pelaku jurnalisme warga dengan jurnalis yang bekerja di media konvensional.
Menghadapai hal itu, pengelola media konvensional mulai berencana memberlakukan ”pernyataan sumpah” bagi jurnalisnya. Seperti yang selama ini berlaku di bidang penerjemah. Selain itu, jurnalis media konvensional dituntut lebih peka dan cepat dalam menghadirkan berita berkualitas.
Tujuan
Media konvensional bertugas memberi edukasi tentang jurnalistik yang benar kepada pelaku jurnalisme warga. Sayangnya, menurut Suryopratomo, berbagai rubrik jurnalisme warga yang disediakan media konvensional tidak cukup mendorong tumbuhnya jurnalisme warga berkualitas.
Keberadaan jurnalisme warga, pada awalnya, bertujuan menginformasikan persoalan riil masyarakat agar cepat direspon bersama. Saat ini pengelolaan jurnalisme warga belum banyak ke arah itu.
Banyak peristiwa yang tidak terliput media konvensional dapat diketahui berkat bantuan jurnalisme warga. “Pengalaman bencana tsunami 2004 memberikan pelajaran bahwa citizen journalism memberi manfaat optimal,” kata Suyopratomo.
Di tempat yang sama, Priambodo memberikan sepuluh panduan etika bagi jurnalisme warga. Yaitu, tidak plagiat; cek dan ricek fakta dan data; jangan gunakan sumber anonim; perhatikan dan peduli kaidah/nasehat hukum; utarakan rahasia secara selektif; hati-hati dengan pendapat narasumber; pelajari batas daya ingat; hindari konflik kepentingan; dilarang lakukan pelecehan; serta pertimbangkan setiap pendapat.
Ia menambahkan, pegiat jurnalisme warga dapat memperdalam kemampuan untuk mencari dan mempublikasikan informasi melalui teknik what, who, when, where, why, + how + bahasa (5W+H+bahasa).
Saat ini ada sekitar 650 ribu blog yang dikelola pegiat jurnalisme warga di Indonesia. Jumlahnya meningkat seiring pengguna internet yang juga bertambah 25\% dalam satu tahun terakhir. Karena itu, Priambodo menyarankan komunitas blog (jurnalisme warga) untuk membuat aturan yang jelas di antara mereka. Misalnya soal copyright artikel yang dimuat.
“Perkembangan jurnalisme warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran,” ujarnya.*