JAKARTA - Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan kondisi sosial masyarakat dan sistem pendidikan turut memengaruhi kelemahan wartawan dalam menjalankan profesinya. Misalnya kelemahan dalam penggunakaan bahasa dan logika yang benar. Wartawan Indonesia, ”kurang mendapat pendidikan rasional,” katanya.
Wartawan perlu menguasai logika yang benar agar mampu menemukan sisi terbaik dari setiap kejadian yang akan diberitakan. Menurut Atma pendidikan logika membantu wartawan dalam menentukan apakah informasi awal yang diterimanya layak ditindaklanjuti.
Pernyataan ini disampaikan saat menjadi pembicara diskusi ”Pendidikan Jurnalistik Berbasis Kompetensi” yang digelar Dewan Pers di Jakarta beberapa waktu lalu. Pembicara lain yang hadir yaitu Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, dan Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando. Acara ini diikuti puluhan peserta dari unsur pimpinan perusahaan pers, perguruan tinggi, organisasi pers, dan para pengajar ilmu komunikasi dan jurnalistik.
Atma mengamati, ada beberapa penyebab lain kelemahan wartawan, yaitu: sedikit perusahaan pers yang memberi kesempatan magang dalam waktu lama bagi calon wartawan atau mahasiswa jurnalistik. Kemudian, jarang digelar pelatihan atau mengirim wartawan untuk belajar secara reguler.
Kelemahan lainnya disebabkan lingkungan masyarakat yang kurang mendukung kreativitas, logika, dan penggunaan bahasa yang benar serta pemikiran demokratis. Pengangguran yang meluas ikut memunculkan wartawan dadakan yang sama sekali tidak berbekal pendidikan jurnalistik. Selain itu, birokrasi atau pejabat mudah memberi amplop kepada orang yang mengaku wartawan.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, Atma menganjurkan perusahaan pers rutin mengadakan pelatihan atau mengirim wartawannya mengikuti pendidikan jurnalistik. Di samping itu, ”Para pendidik jurnalisme hendaknya gabungan dari kemampuan teori dan praktik. Penting bagi pendidik jurnalistik memiliki pengalaman jurnalistik,” ujarnya.
Profesi Tertutup
Sebuah survei di Amerika Serikat tahun 2000 menyimpulkan, sekitar 78\% lulusan sekolah jurnalistik dapat bekerja di suratkabar. Sedang yang bekerja di televisi mencapai 94\%. Data ini, menurut Bambang Harymurti, menunjukkan peran besar sekolah jurnalistik dalam menyediakan tenaga wartawan untuk perusahaan pers.
Saat ini perusahaan pers semakin jelas mengarah ke industri. Berarti, Bambang memastikan, para pengelola pers semakin berpikir industrial. Maka kecenderungannya, sebagai bentuk penghematan, perusahaan pers tidak mau lagi mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan wartawannya. Mereka memilih merekrut lulusan sekolah jurnalistik yang siap kerja.
Di samping itu, peran jurnalisme yang semakin diambil alih oleh masyarakat melalui ”jurnalisme warga”, menyebabkan adanya pengetatan terhadap profesi wartawan. ”Kebutuhan yang harus dipenuhi wartawan bukan lagi hanya fakta, tetapi kepercayaan dan informasi yang benar,” katanya.
Sehingga, semakin lama profesi wartawan mengarah ke ”tertutup”, seperti profesi dokter atau pengacara. Artinya, seseorang membutuhkan gelar formal dari sekolah jurnalistik agar mendapat kesempatan lebih besar untuk bekerja di perusahaan pers. Bambang melihat kecenderungan ini sebagai peluang bagi sekolah jurnalistik.
Di tempat yang sama, Ade Armando mengakui, sistem pengajaran di perguruan tinggi yang memiliki jurusan komunikasi atau jurnalistik belum mampu mendukung munculnya wartawan yang siap pakai. Perguruan tinggi merasa tidak tertantang untuk melahirkan wartawan berkualitas. Kelahiran calon wartawan dari kampus seringkali justeru dari luar sistem. Misalnya dengan mengelola pers kampus.
”Sekarang terbuka kesempatan untuk menyumbang wartawan yang baik,” katanya.
Dalam diskusi ini sebagian peserta menghendaki Dewan Pers menjadi lembaga yang dapat menjembatani antara industri pers dengan lembaga pendidikan jurnalistik. Dewan Pers dapat menghasilkan regulasi serta menetapkan visi dan misi pendidikan jurnalistik. Wartawan seperti apa yang dibutuhkan diolah di Dewan Pers, sedang pelaksanaanya diserahkan kepada lembaga pendidikan jurnalistik.
?”Dewan Pers menunjukkan kemana seharusnya perguruan tinggi bergerak,” kata peserta diskusi Zulkarimein Nasution.*