Tanggal 23 September 1999, atau sembilan tahun lalu, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menandatangani Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers baru ini memberi kebebasan kepada wartawan untuk mencari dan menyampaikan informasi. Pembredelan dan sensor terhadap pers tidak lagi diperbolehkan.
Sejak disahkan, UU Pers mendapat banyak kritik. Karena, misalnya, dianggap tidak mampu melindungi masyarakat dari praktik penyalahgunaan profesi wartawan. Pornografi yang berkedok produk pers bebas diperjualbelikan di pinggir jalan.
Namun, di sisi lain, kebebasan dalam sembilan tahun terakhir telah mendorong tumbuhnya pers-pers profesional. Pers yang tidak profesional dan tidak dipilih publik perlahan gulung tikar. Para pekerja pers juga terus memperbaiki diri untuk menghadirkan kehidupan pers yang bermutu.
Dalam rangka sembilan tahun UU Pers, berikut ini rangkuman perbincangan penyiar radio, Sutami, dan host tamu, Bekti Nugroho, dengan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., di Kantor Berita Radio 68H, Jakarta. Perbincangan yang dilakukan 24 September 2008 ini di-relay jaringan KBR 68H di sejumlah daerah.
Setelah sembilan tahun UU Pers, bagaimana kondisi pers Indonesia?
Kalau melihat pengaduan ke Dewan Pers sebagai indikator, jumlah pengaduannya semakin meningkat. Berarti masyarakat sudah sadar, jika menjadi korban berita pers tidak lagi melakukan kekerasan tetapi melapor ke Dewan Pers. Namun, kalau indikator itu dilihat dari segi wartawan atau suratkabar, ternyata menunjukkan semakin lama banyak wartawan atau pers yang tidak memenuhi kode etik. Sehingga banyak masyarakat menjadi korban.
Seperti apa kode etik yang dimiliki wartawan?
Kode Etik Jurnalistik memuat 11 pasal, merupakan revisi dari kode etik lama yang bernama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berisi sembilan pasal. Dari 11 Pasal itu yang paling utama yaitu pemberitaan pers harus cover both sides, tidak boleh menyiarkan berita bohong dan berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama.
Aksi kekerasan terhadap wartawan masih sering terjadi. Belum lama ini dilakukan oknum tentara. Apakah berarti masih banyak yang belum memahami kerja wartawan?
Saat ini main set peninggalan zaman Orde Baru bahwa yang berkuasa adalah mereka yang membawa senjata, masih tetap terlihat. Tugas dari Dewan Pers untuk sosialisasi dan memberi pengertian mengenai pers kepada lembaga-lembaga seperti Polri dan TNI.
Ketika ada pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Pers. Dr. Soetomo, yang diikuti seorang peserta dari tentara, ia mengatakan seringkali tentara menganggap sebuah berita tidak bisa disiarkan karena sifatnya sensitif dan strategis. Sedang bagi wartawan tidak ada batasan. Menurut tentara, jika berita semacam itu disiarkan, siapa yang akan bertanggung jawab?
Misalnya kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, ada tuntutan agar wartawan memerhatikan nasionalisme. Tugas wartawan adalah menyiarkan fakta, bukan tugasnya wartawan untuk nasionalisme, meski tentara bilang ini bagian dari kepentingan nasional yang harus pula didukung wartawan.
Apakah kekerasan terhadap wartawan menurun?
Kekerasan terhadap wartawan memang menurun, misalnya perampasan terhadap alat kerja wartawan. Namun sebaliknya, pengaduan masyarakat terhadap berita pers meningkat. Jumlah suratkabar yang meningkat pesat, terutama di daerah, di satu sisi kita patut bergembira. Karena daerah bisa memiliki suratkabar sendiri meskipun terkadang jumlahnya berlebihan. Namun, di sisi lain, banyaknya pers menciptakan kompetisi yang seringkali menyebabkan wartawan hanya mengejar target. Kalau tidak mencapai target kemudian membuat berita karangan sendiri.
Bagaimana dengan soal pemuatan Hak Jawab dan sengketa pemberitaan?
Kesalahan berita yang ada di halaman 1, pemuatan Hak Jawabnya tidak harus juga di halaman 1. Kode etik menyebut pemuatan Hak Jawab dilakukan secara proporsional. Dikatakan secara proporsional karena dari berita yang panjang mungkin kesalahannya hanya sedikit. Yang sedikit itu kemudian digunakan Hak Jawab secara proporsional. Namun Hak Jawab bukan berarti diselipkan di pojok. Yang penting proporsional. Kalau dimuat tidak proporsional Dewan Pers bisa ingatkan media bersangkutan supaya memuat dengan proporsional.
Mengenai sengketa pers, yang penting bagi Dewan Pers kasusnya mengenai pemberitaan. Kalau bukan pemberitaan berarti diluar tugas Dewan Pers. Misalnya ada media yang menjelek-jelekkan pihak lain, bisa diadukan ke Dewan Pers, dengan disertai kliping dan sejenisnya. Sehingga Dewan Pers bisa menilai pemberitaan itu melanggar kode etik atau tidak.
Dalam pilkada banyak pers berpihak. Seperti apa kondisinya?
Dengan adanya kebebasan pers, memang banyak sekali muncul pers di daerah. Menjelang Pilkada jumlahnya bisa meningkat tajam. Tapi umurnya kadang-kadang ada yang cuma satu bulan. Kita mengharapkan media semacam ini ada yang bisa melaporkannya. Kalau pers digunakan memeras calon kepala daerah dengan menakut-nakuti untuk memberitakan keburukannya, kita bisa langsung mengirimkan kasusnya ke kepolisian. Itu bukan lagi kasus berita tapi kriminal.
Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers dengan banyaknya wartawan dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik?
Prinsipnya, kalau kasus pers sudah dibawa ke pengadilan Dewan Pers tidak bisa berbuat apa-apa. Kasusnya bisa dibawa ke Dewan Pers kalau kedua-duanya memercayai Dewan Pers. Tapi kalau dari awal keduanya memilih pengadilan, Dewan Pers tidak dapat berbuat apa-apa.
Kalau ada masalah berita semestinya ke Dewan Pers lebih dulu. Polri seharusnya juga jangan asal tangkap wartawannya. Karena, bukan bermaksud mengklaim, Dewan Pers-lah yang paling tahu apakah sebuah berita melanggar kode etik. Polri tidak dididik untuk hal semacam itu. Kalau kriminal silahkan saja Polri menindak langsung. Sedang menyangkut berita, Dewan Pers yang tahu ukurannya.
Mengapa KUHP masih digunakan dalam banyak kasus pers?
Dewan Pers sudah sering berdiskusi dengan kepolisian. Kepolisian mengatakan, kalau ada orang mengadu maka polisi tidak boleh menolak. Itu alasannya. Dan seringkali kasus yang ditangani kepolisian diarahkan ke KUHP.
Masyarakat harus disadarkan, kalau mengadu ke Dewan Pers prosesnya murah, bahkan gratis. Kalau masuk ke pengadilan biayanya mahal sekali. Di Dewan Pers tidak ada yang menang dan kalah karena win win solution.
Mengenai pengaduan dari daerah, kalau Dewan Pers mengganggap mereka bisa datang ke Jakarta, maka merekalah yang datang ke Jakarta. Tapi kalau tidak mampu Dewan Pers yang mendatangi.*