SEIRING datangnya era reformasi, pers mendapat peran dan kedudukan penting dan terhormat. Pers bahkan dibaptis sebagai salah satu pilar demokrasi. Agar bisa menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi, pers membutuhkan kebebasan. Pers membutuhkan suasana kerja tanpa tekanan dan takut bahwa sewaktu-waktu bisa dibredel atau dijebloskan ke penjara. Karena itulah, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pers bisa diterbitkan tanpa harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers juga tidak bisa dibredel. Ringkasnya, pers telah menemukan habitatnya, yakni kebebasan.
Namun, setelah sepuluh tahun reformasi, banyak pihak mempertanyakan arti kebebasan pers. Kebebasan pers dinilai kebablasan. Belum lagi, muncul sejumlah oknum yang mendirikan perusahaan pers sebagai sarana untuk memeras masyarakat. Karena itu, muncullah wartawan pemeras, gadungan atau bodrek. Apa yang melatarbelakangi munculnya wartawan bodrek tersebut? Apa upaya Dewan Pers untuk mengatasi hal ini? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dengan Anggota Dewan Pers Wikrama Iryans Abidin:
Apa yang membedakan wartawan bodrek dengan wartawan lainnya?
Wartawan bisa dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, kalau dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kegiatan jurnalistik berdasarkan etika dan ada produknya secara teratur. Kalau kita lihat pengertian ini sudah sejalan dengan UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Pasal 1 ayat (4) UU ini mengatakan, wartawan adalah setiap orang yang melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur. Kalau setiap orang hanya melakukan kegiatan jurnalistik misalnya dengan mencari (bukan mencuri), mengolah (bukan mengakali), dan memberitakan (bukan membuat berita bohong), dan dilakukan secara teratur, maka itu dikatakan wartawan. Tapi kalau orang itu niatnya mencuri, rampok, dan membodohi masyarakat seolah-olah dia wartawan, maka itu bukan wartawan.
Apa faktor munculnya wartawan gadungan (bodrek)?
Pertama, masyarakat belum paham tentang siapa itu wartawan dan apa tugasnya. Kedua, masyarakat paham dengan kerja pers tapi karena dia bermasalah, maka dia juga menjadi bagian dari masalah wartawan gadungan. Mau tidak mau mereka saling memanfaatkan sehingga bisa saling menguntungkan.
Mengapa wartawan bodrek belum bisa diberantas?
Intinya kita dalam masa transisi dari era yang dulunya menekan pers, ke era yang melepaskan simbol yang terbatas itu. Dalam konteks itu dibuatlah UU yang tidak lagi membelenggu kebebasan pers seperti adanya SIUPP, pembredelan, sensor, dan lain-lain. Kita memasuki ruang yang bebas tanpa ada orang lain. Orang lain juga karena masa transisi ini menjadi gamang. Maka muncul persoalan profesionalisme. Profesi itu kan pertama, mensyaratkan kompetensi. Kedua, keahlian. Ketiga, profesionalisme mensyaratkan agar orang tidak semata-mata bekerja hanya untuk profesi tetapi harus punya tanggung jawab terhadap karya jurnalistiknya. Yakni karya yang bermakna, atau tidak melanggar hak orang lain. Kriteria mengenai profesionalisme itu tidak bisa kita buat dalam satu regulasi. Kalau dulu ada Departemen Penerangan, PWI, sekarang dikembalikan ke Dewan Pers. Dewan Pers juga dalam posisi gamang. Kalau kita melakukan aturan berlebihan maka dikira seperti Deppen. Tapi jika dibiarkan maka pembonceng ini bisa meraja.
Apa upaya Dewan Pers untuk menghilangkan wartawan bodrek?
Kita mesti sepakat dulu bahwa kita berada di suatu ruang yang memiliki paradigma pers yang betul-betul baru. Paradigma itu sudah dirumuskan dalam UU No 40/1999 pasal 2. Di sana dikatakan, kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Artinya, yang punya kemerdekaan pers bukan hanya wartawan, pemilik modal dan Dewan Pers, tapi rakyat yang direfleksikan melalui kemerdekaan pers. Artinya kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan masyarakat, demokrasi. UU itu menyebutkan tujuan kebebasan pers adalah, menegakkan demokrasi, prinsip keadilan dan supremasi hukum. Pertanyaannya, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan maka pertanyaannya adalah, adilkah wartawan yang profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatir, gadungan, pemeras. Adilkah masyarakat melakukan pembiaran sebagai pemilik kemerdekaan pers. Apakah wartawan gadungan bisa menegakkan prinsip demokrasi, dan supremasi hukum sementara mereka bermasalah, sangat tidak demokratis, bahkan cenderung melawan hukum dengan melakukan pemerasan, pencemaran nama baik dan adudumba.
Apa yang dilakukan masyarakat terhadap wartawan bodrek?
Pertama publik harus tegas menyikapi wartawan bodrek. Mereka jangan diberi ruang hidup di lingkungan pemerintah maupun masyarakat. Anda bisa tangkap ramai-ramai dan bawa dia polisi kalau perlu ke pengadilan. Kedua, masyarakat perlu cerdas menyikapi pers. Karena kemerdekaan pers itu bermata dua, bisa bermanfaat dan juga bisa mencelakakan kalau tidak ada etika. Dalam konteks ini kalau kita bicara kemerdekaan pers versus wartawan gadungan, maka tidak ada relevansinya. Karena wartawan gadungan bukan wartawan. Wartawan adalah pekerjaan yang terhormat, bermartabat kalau dia dibekali dengan profesionalisme. Wartawan bodrek bukan wartawan, tapi pelaku kriminal. Kalau wartawan bekerja secara profesional, dia tidak perlu meminta atau memeras masyarakat. Karena wartawan yang baik bekerja di perusahaan yang sehat. Perusahaan yang sehat itu punya pembaca, ada iklan. Jadi kalau ada wartawan yang bekerja di media yang gajinya kecil dan karena itu ada alasan meminta amplop, maka sebaiknya dia mundur saja, karena menciderai profesi wartawan. (Harian JURNAL NASIONAL, 15 OKTOBER 2008)
Acara perbincangan ini hasil kerjasama Dewan Pers dengan KBR 68H. Hadir juga Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, sebagai host tamu.