JAKARTA – Reformasi membawa empat perubahan mendasar, yaitu demokrasi sebagai sistem kebangsaan, desentralisasi pemerintahan, sistem ekonomi terbuka, dan kebebasan pers. Di antara perubahan tersebut, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers mengambil peran penting. Contohnya, tidak ada demokrasi yang terbuka tanpa pers yang terbuka.
”Kita menikmati kebebasan (pers) itu. Tapi semua itu selalu menimbulkan konsekuensi positif dan negatif,” kata Wapres saat memberi sambutan dalam Seminar ”Refleksi Sembilan Tahun Kemerdekaan Pers” yang digelar Dewan Pers di Jakarta, Kamis (30/10/2008).
Kalla mengingatkan, kebebasan pers memiliki batas saat menyentuh kebebasan orang lain. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak 19 kali disebut kata ”berhak” dan juga mencantumkan dua kata ”wajib”. Bagi pers, kata ”wajib” ini berarti tanggung jawab. Bentuk tanggung jawab tersebut dengan membatasi kebebasan diri berdasar Konstitusi. Sebab, saat ini tidak ada yang boleh menyensor pers.
Ia berharap pers dapat tumbuh sehat, obyektif, enak dibaca, penting, serta mendorong optimisme bangsa. Pers tersebut tidak menimbulkan kebencian atau kekerasan. Pers perlu ”mengajak orang untuk obyektif” katanya.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA. menilai, selama sembilan tahun kebebasan pers telah banyak dicapai hasil positif. Namun, ia mengingatkan, perilaku buruk komunitas pers dapat mengurangi makna kebebasan pers itu.
”Banyak yang sudah dicapai dengan kemerdekaan pers. Namun banyak hal yang bisa menyebabkan lunturnya kemerdekaan pers karena sikap-sikap dari komunitas pers sendiri,” kata Amal.
Menurutnya, sekarang ini semakin banyak masyarakat mengadu ke Dewan Pers. Hal tersebut menunjukkan masyarakat semakin paham jika merasa dirugikan pers utamanya mengadu ke Dewan Pers bukan ke pengadilan.
Hak Jawab
Seminar memperingati sembilan tahun UU Pers ini menghadirkan pembicara Harifin A. Tumpa (Wakil Ketua Mahkamah Agung), Rikard Bagun (Wakil Pemimpin Redaksi Kompas), Dahlan Iskan (Ketua Umum SPS Pusat), Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), dan Bambang Widjojanto (Praktisi Hukum).
Harifin berpendapat pers harus memerhatikan Hak Jawab untuk melindungi diri. Dalam beberapa kasus pers, MA memutus bebas pers dari tuntutan melawan hukum karena pihak penggugat belum menggunakan Hak Jawabnya.
”Karena penggugat belum menggunakan Hak Jawabnya, padahal UU Pers mewajibkan pers melayani Hak Jawab, maka pers tidak bisa dikatakan melawan hukum,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan ”Kalau Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers, saya katakan 50\\% persoalan selesai. Sehingga kita dapat melindungi kemerdekaan pers.”
Leo Batubara mencermati adanya ancaman terhadap kebebasan dalam bentuk kriminalisasi pers. Kalangan elit pemegang kekuasaan masih sulit mereformasi pola pikir dan pola tindak mereka untuk menerima keberadaan pers merdeka.
“Dewan Pers menolak ketentuan pembredelan pers dan menolak politik hukum yang mengkriminalkan pers, karena dua alat kendali kekuasaan itu akan melumpuhkan fungsi kontrol pers,” tegasnya.*