Jakarta - Pertemuan Dewan Pers bersama perwakilan komunitas pers dan masyarakat pada akhir Oktober lalu, berhasil menyelesaikan penyusunan Pedoman Hak Jawab. Pada hari yang sama Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, mengesahkan Pedoman tersebut sebagai Peraturan yang berlaku bagi pers nasional.
Penyusunan Pedoman Hak Jawab dimulai sejak April 2008. Sebanyak sebelas pertemuan digelar untuk menampung masukan, membahas draft, dan akhirnya mengesahkannya. Dengan telah tersusunnya Pedoman ini, masyarakat yang merasa dirugikan akibat berita pers terbantu untuk memahami dan menggunakan Hak Jawab. Sedangkan bagi redaksi pers, Pedoman ini merupakan petunjuk mengenai bagaimana melayani Hak Jawab yang diajukan masyarakat.
Mengapa Pedoman Hak Jawab perlu disusun? Apa saja isi dari Pedoman tersebut ? Berikut ini perbincangan dalam program Sarapan Pagi edisi Kamis, (6/11/2008) antara Sutami dari KBR 68 dan Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho (sebagai host), dengan narasumber Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi.
Ada sebelas kali pertemuan digelar. Sepertinya pembahasan Pedoman Hak Jawab ini alot?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya akan mulai dari awal. Salah satu tugas dari Dewan Pers adalah memfasilitasi pembuatan peraturan-peraturan di bidang pers. Kenapa harus “memfasilitasi”? Pada konsep awal perumusan UU Pers disebutkan “Dewan Pers membuat peraturan-peraturan di bidang pers”. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan –khususnya Departemen Penerangan sebagai instansi yang membuat peraturan di bidang pers— cenderung menghasilkan peraturan-peraturan ke arah otoriter, tidak demokratis. Karena itu, pembuat UU Pers khawatir, kalau kewenangan serupa diberikan kepada Dewan Pers, maka akan terulang kesalahan yang sama. Sehingga rumusan dalam UU Pers menjadi “Dewan Pers memfasilitasi pembuatan peraturan-peraturan di bidang pers”.
Sesuai dengan fungsi itu, Dewan Pers kemudian mulai memfasilitasi pembuatan peraturan di bidang pers, termasuk mengenai Hak Jawab. Mengapa Dewan Pers memfasilitasi pembuatan pedoman mengenai Hak Jawab? UU No.40/1999 tentang Pers meskipun tidak dinamakan UU pokok tetapi berisi pokok-pokok. Maka banyak hal yang penjabarannya menjadi perdebatan. Salah satu di antaranya masalah Hak Jawab. Misalnya timbul persoalan, bagaimana dan kapan Hak Jawab dilaksanakan.
Apa urgensi dari Pedoman ini? Apakah ada kaitannya dengan kasus pers yang muncul belakangan, misalnya kasus Asian Agri dengan majalah Tempo yang berujung di pengadilan?
Sebenarnya kita tidak melihat kasus-perkasus. Tapi kalau kita lihat secara keseluruhan, Hak Jawab menjadi persoalan yang sangat penting. Persoalan antara pers dengan masyarakat sering timbul karena pelaksanaan Hak Jawab ini. Masing-masing pihak berpegang pada pendapatnya sendiri sehingga timbul berbagai sengketa dan kontroversi.
Di lain pihak UU Pers menyebutkan, kemerdekaan pers merupakan hak masyarakat, bukan milik atau hak eksklusif pers. Karena itu semua pihak harus menikmati kemerdekaan pers. Salah satu caranya dengan memberi kepada masyarakat Hak Jawab yang proporsional. Dalam hal ini wartawan dituntut untuk membuat berita yang profesional. Dan ketika pers melakukan kekeliruan, masyarakat yang dirugikan mempunyai hak untuk membenarkan. Masyarakat luas juga berhak memperoleh informasi yang benar. Di sini terjadi suasana dialogis antara pers sebagai penegak amanah kemerdekaan pers dengan masyarakat sebagai pemilik kemerdekaan pers. Dan Hak Jawab dapat menjaga kemerdekaan pers agar berjalan dengan benar.
Seperti apa contoh kasus sengketa Hak Jawab?
Ada banyak kasus yang timbul karena Hak Jawab. Komplainnya, misalnya, kenapa Hak Jawab tidak dimuat sesuai dengan berita yang ada. Contohnya berita pada headline atau berita pertama di radio/televisi. Hak Jawab untuk berita tersebut hanya dimuat sedikit. Padahal beritanya dianggap sudah menimbulkan kerugian besar.
Hal-hal semacam ini kalau dibiarkan terus akan menyebabkan persoalan Hak Jawab menggunung dan dapat menganggu kemerdekaan pers.
Apakah tujuan pembuatan Pedoman Hak Jawab untuk memberi kepastian hukum agar hanya sedikit celah kasus pers dibawa ke pengadilan?
Itu hanya satu tujuan. Kita mendasari kemerdekaan pers berasaskan demokrasi, supremasi hukum. Di situ juga harus ada keseimbangan antara pers dengan masyarakat. Inilah yang utama. Bila setelah hak diberikan secara seimbang dan proporsional kasusnya tidak ke pengadian, itu konsekwensi logis. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencegah kasus pers ke pengadilan tapi lebih memberi rasa keadilan kepada semua pihak, memberi informasi yang beraneka ragam dan berimbang untuk masyarakat luas.
Apa saja yang diatur dalam Pedoman ini?
Pedoman Hak Jawab memuat 17 poin ditambah sub-sub poin. Pengaturannya dimulai dari pengertian Hak Jawab. Pengertian Hak Jawab yang sudah ada di UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) diperjelas. Misalnya, apa yang dimaksud “kelompok masyarakat”? Siapa yang dapat mewakili “kelompok masyarakat”?
Juga diatur, dimana Hak Jawab harus dimuat dan dalam bentuk apa? Setelah melalui 11 kali pertemuan dan perdebatan sengit (kadang-kadang satu bagian membutuhkan perdebatan setengah hari) akhir disepakati, Hak Jawab dimuat pada tempat yang sama dimana kesalahan itu terjadi. Ini prinsip utamanya.
Mengenai persoalan pemuatan Hak Jawab sebenarnya ada dua mazhab, yaitu mazhab Prancis dan Amerika. Mazhab Amerika bersifat fleksibel, mengutamakan independensi redaksi. Jadi terserah redaksi mau menempatkan Hak Jawab di mana. Sedang mazhab Prancis lebih rigit. Indonesia, seperti biasanya, menganut jalan tengah.
Bukankah jalan tengah itu berarti tidak jelas?
Sebenanyra jelas. Pada prinsipnya Hak Jawab harus dimuat pada tempat yang sama dengan berita sebelumnya. Tetapi jika disepakati lain oleh para pihak maka boleh di tempat lain.
Selama ini masyarakat banyak mengeluhkan pers yang hanya mau memuat Hak Jawab dengan ukuran kecil. Sehingga mereka memilih ke pengadilan. Apakah Pedoman ini telah dikomunikasikan dengan pers sehingga tidak menimbulkan masalah?
Pembuatan Pedoman ini dilakukan oleh hampir semua bagian masyarakat yang berhubungan dengan Hak Jawab. Tentu yang pertama-tama adalah pers sendiri yang terdiri atas bagian redaksi dan perusahaan. Kita juga melibatkan para penegak hukum, hakim, jaksa, para pembela, Humas, akademisi, dan tokoh masyarakat. Jadi semua pihak terlibat dalam pembuatannya. Karena itu timbul banyak aspirasi dan pandangan. Akibatnya muncul perdebatan yang cukup alot, sampai ada 11 kali pertemuan. Perumusan Pedoman ini bisa dibilang lama atau cepat. Karena memang materinya banyak serta substansinya berat. Kalau di-compare dengan masa lalu, 30 tahun Orde Baru gagal membuat Pedoman Hak Jawab ini.
Kalau mau otoriter, Dewan Pers cukup menggelar sekali atau duakali pertemuan. Namun Dewan Pers memberi kesempatan munculnya perdebatan. Misalnya soal penempatan Hak Jawab. Ada yang berpendapat Hak Jawab bisa dimuat ditempat atau acara yang sama dengan berita sebelumnya. Pendapat lain menyatakan “tidak”. Kemudian, dengan alasan untuk kepentingan pers sendiri, disepakati pada prinsipnya Hak Jawab dimuat di tempat yang sama dengan berita sebelumnya. Karena dengan begitu pers semakin berhati-hati dalam menulis berita terkait fakta-fakta. Memicu pers untuk memperbaiki diri.
Hak Jawab bisa dimuat di tempat yang lain asal disepakati oleh para pihak. Axception ini dimungkinkan. Misalnya ada kesalahan pada cover, apakah Hak Jawabnya juga di cover? Kalau kesalahannya berat, bisa saja Hak Jawab juga dimuat di cover. Namun dapat juga dimuat di dalam dengan format seperti cover atau lainnya.
Seperti itukah yang disebut jalan tengah?
Ia. Tapi harus ada persetujuan para pihak.
Kalau media cetak pada halaman yang sama, bagaimana dengan pemuatan Hak Jawab di media elektronik?
Pada prinsipnya sama, yaitu Hak Jawab dimuat pada kesempatan pertama yang memungkinkan dan pada program yang sama. Kalau di televisi bisa dilakukan pada program berita berikutnya yang sesuai. Tetapi bisa juga sesuai kesepakatan para pihak. Hak Jawab dapat dimuat dalam format lain seperi running text, wawancara, feature, talkshow, dan lainnya sesuai kesepakatan.
Hal penting lainnya, Hak Jawab hanya ditujukan kepada pers yang menyiarkan atau memublikasikan dan dimuat tidak dalam bentuk iklan. Sekarang ini banyak pengacara minta Hak Jawab juga dimuat di media-media lain yang jumlahnya banyak. Pedoman ini meluruskan pandangan itu.
Sebelum Dewan Pers mengeluarkan Pedoman ini, sulit menjawab pertanyaan mengenai Hak Jawab karena yang diminta aturan pastinya. Dengan pedoman ini Dewan Pers bisa lebih jelas memberi rujukan. Pedoman ini diharapkan bisa memecahkan sebagian dari persoalan Hak Jawab.
Kalau kesalahan ada pada program berita kemudian Hak Jawab dimuat pada program non berita, apa itu bisa?
Prinsipnya bisa. Namun sebaiknya Hak Jawab dimuat pada program yang sesuai. Misalnya kesalahan menyangkut berita politik dan Hak Jawabnya dimuat di program anak-anak, tentunya tidak sesuai. Tapi kalau pihak yang bersangkutan setuju maka tidak jadi masalah.
Ada masyarakat yang dirugikan oleh pers kemudian mengirim Hak Jawab dalam format Surat Pembaca. Apakah Surat Pembaca tersebut perlu ditampilkan lagi di tempat berita yang salah?
Kalau pengguna Hak Jawab merasa di Surat Pembaca sudah cukup, tidak jadi masalah lagi. Dan perlu diingat, Surat Pembaca bukan rubrik buangan. Menurut survei, Surat Pembaca menempati posisi yang relatif tinggi ratingnya. Artinya diminati. Kalau kita ingin mendengar suara masyarakat maka seringkali tidak lagi Tajuk yang dibaca tapi Surat Pembaca. Ada kesalahpahaman di masyarakat seolah-olah Surat Pembaca adalah rubrik buangan yang tidak penting.
Saya perlu bacakan fungsi dari Hak Jawab yang dimuat dalam Pedoman ini. Pertama, memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat. Kedua, menghargai dan menghormati martabat orang lain yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Ketiga, mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers. Keempat, untuk pengawasan masyarakat terhadap pers.
Sedangkan tujuan dari Hak Jawab di Pedoman supaya ada pemberitaan yang adil dan berimbang, tanggung jawab pers kepada masyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menyelesaikan sengketa akibat pemberitaan pers, serta wujud dari itikad baik pers.
Surat Pembaca umumnya tidak ditempatkan di halaman yang mencolok. Apa ini indikasi kalau Surat Pembaca tidak penting karena ditempatkan di tempat yang tidak mudah dilihat?
Dalam jurnalistik ada pembagian rubrik dan segmen. Surat Pembaca merupakan bagian dari Opini. Dia selalu diletakkan di bagian Opini, dekat dengan Tajuk dan opini yang lain. Jadi bukan karena dia tidak terhormat kemudian tidak ditempatkan di depan.
Apakah Pedoman ini juga memberi batasana waktu bagi seseorang untuk menggunakan Hak Jawab?
Orang yang merasa dirugikan, kalau dia memang memiliki niat untuk memperbaiki maka dia segera bereaksi dalam batas yang wajar. Katakanlah sesegera mungkin mengirim Hak Jawab. Akhirnya kita bersepakat, kalau reaksi itu lebih dari dua bulan maka itu sudah tidak wajar. Karena itu, Hak Jawab ini ada kadaluarsanya, yaitu dua bulan sejak terbitnya karya jurnalistik tersebut. Lebih dari dua bulan prinsipnya Hak Jawab tidak bisa diajukan. Meski demikian pers juga memiliki moralitas yang tinggi. Apabila redaksi merasa ada hal yang sangat penting dari Hak Jawab itu, batas dua bulan bisa diterobos, dengan syarat redaksi pers bersedia.
Dengan adanya kadaluarsa dua bulan, bukankah memberi peluang masyarakat untuk langsung membawa kasus pers ke pengadilan?
UU Pers itu bersifat prima. Artinya, sepanjang ada mekanisme penyelesaian di UU Pers maka harus ditempuh dulu, termasuk dalam mekanisme Hak Jawab. Kode etik kemudian memperjelas hal ini. Masalahnya, pihak yang dirugikan sudah diberikan kesempatan untuk menyampaikan Hak Jawab dan dia tidak gunakan. Di sini berlaku “orang yang mengetahui adanya kesalahan tidak membantah keselahan itu dianggap membenarkan adanya kesalahan itu.” Jadi, kalaupun ke pengadilan, pengadilan akan mengatakan mengapa tidak menggunakan Hak Jawab dulu.
Bagaimana Dewan Pers ikut memberi berikade agar orang atau perusahaan besar tidak bisa memainkan kasus pers semau mereka di pengadilan?
Sistem pengadilan kita terbuka, siapapun yang menggugat harus diterima. Bahwa nanti dikalahkan lain soal. Namun kita sudah meletakkan dasar-dasar bahwa kalau ada orang membiarkan kesalahan berita maka ada hal yang tidak benar.
Pertanyaannya tadi mengenai permintaan untuk merahasiakan penulis Surat Pembaca. Apakah pers bisa dipercaya?
Kalau redaksi memuat Surat Pembaca dengan tidak menyebut nama dan alamat penulisnya maka seluruh tanggung jawab terhadap isi Surat Pembaca itu ada di redaksi. Redaksi tidak boleh membocorkan identitas penulisnya. Kalau membocorkan bisa dihukum, baik secara kode etik (karena melanggar etika untuk merahasiakan sumber informasi), maupun secara yuridis. Orang yang karena profesinya harus merahasiakan sesuatu kemudian membocorkan, bisa dihukum.
Dalam Pedoman ini, apakah permintaan maaf dari media wajib dilakukan?
Tidak, kecuali untuk kesalahan yang bersifat berat, terutama berisi opini yang menghakimi. Sebenarnya kalau salah pers wajib meminta maaf, apalagi ada permintaan dari pihak lain.
Perlu diingatkan kepada masyarakat apabila dirugikan oleh pemberitaan pers silahkan gunakan Hak Jawab dan tembuskan Hak Jawab itu ke Dewan Pers. Apabila Hak Jawab itu tetap tidak diproses, adukan ke Dewan Pers.*