Peran Pers dalam Pemberantasan Korupsi

images

Masyarakat dunia menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Sedunia. Penetapan ini menegaskan tekad masyarakat dunia untuk bersama memberantas korupsi, menjadikannya sebagai musuh bersama yang harus terus dilawan. Perlawanan terhadap korupsi telah menjadi strategi terpenting bagi upaya menyejahterakan masyarakat, memeratakan pembangunan, dan memperkuat demokrasi.

Bagi masyarakat Indonesia, tekad memberantas korupsi terus menguat, terutama setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dalam beberapa tahun terakhir status Indonesia belum beranjak dari 10 negara terkorup di dunia yang menandakan prilaku korupsi masihlah sulit dicegah. Dibutuhkan kerja bersama dari banyak pihak untuk mengentaskan Indonesia dari 10 negara terkorup itu.

Di sini ada harapan kepada pers untuk ikut mengambil peran. Harapan tersebut didasari posisi strategis pers. Melalui kebebasan pers saat ini, pers dapat lebih bebas berperan sebagai lembaga kontrol dan kritik sosial. Sejauh mana peran pers dalam pemberantasan korupsi? Apa kendala pers untuk berperan lebih maksimal? Berikut perbincangan dalam program Sarapan Pagi KBR 68H (10 Desember 2008) antara Vivi Zakki dan Bekti Nugroho dengan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, dan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara.

Bagaimana peran pers dalam pemberantasan korupsi?

Johan Budi:

Setelah masa reformasi, orang begitu mudah mendapat informasi. Perkembangan pers juga begitu pesat. Setiap orang bisa mendirikan koran, televisi lokal bertumbuhan. Hal ini berimbas pada persaingan untuk mendapatkan eksklusivitas berita. Bagi media yang profesional dan sudah mapan persaingan itu tidak jadi masalah. Untuk medi-media baru, terutama yang “tidak jelas”, menjadi masalah. Sehingga muncul berita-berita yang melanggar asas praduga tak bersalah, bahkan jauh melebihi itu. Mereka melanggar kode etik dan UU No.40/1999 tentang Pers.

KPK melihat media saat ini tidak hanya berperan membantu KPK, tetapi juga membantu memberi informasi yang menjurus pada pengungkapan kasus yang tidak bisa ditembus oleh aparat penegak hukum. Kadang-kadang sumber informasi lebih terbuka pada media dibanding kepada aparat penegak hukum. Ada beberapa pemberitaan yang terus terang saja kita jadikan bahan awal melakukan penelaahan atau penyelidikan lebih lanjut. Bahkan KPK sejak tahun 2007 roadshow di delapan kota mengadakan kegiatan pelatihan untuk mengajak media, mengingatkan media, terhadap peran strategisnya.

Rubrik investigasi di media mapan sepertinya masih jarang?

Saya paham sulitnya mencari bahan yang matang seiring semakin sadarnya narasumber bahwa obyek berita bisa melakukan gugatan terhadap media. Kita tahu sederet media sejak masa reformasi digugat oleh narasumber maupun obyek berita. Sehingga media begitu hati-hati dalam mengungkap kasus atau persoalan yang membutuhkan indepth reporting atau investigative reporting yang memerlukan waktu dan biaya.

Secara umum, bagaimana pemberitaan pers dalam kaitan pemberantasan korupsi?

Dalam era saat ini, korupsi memang menjadi top rating bagi media. Tidak hanya media, di daerah juga pasti ada LSM yang embel-embel­-nya korupsi. Korupsi memang jadi topik utama media. Saya kira tidak hanya di Indonesia, seperti di Burma atau Vietnam, ketika saya berbicara dengan ketua “KPK”  di sana, pemberantasan korupsi jadi konsen juga buat media. Negara-negara berkembang konsen dengan masalah korupsi.

Apakah media benar-benar telah berperan dalam pemberantasan korupsi?

Leo Batubara:

Pemberantasan korupsi membutuhkan informasi dan fakta. Ternyata peran media dalam pemberantasan korupsi baru sebatas menyediakan panggung untuk KPK. Maka saya lihat semua temuan KPK diekspos oleh media (meskipun ini tidak buruk). Dengan hanya mengekspos temuan KPK, media itu merasa aman karena tidak ada yang mengadukannya ke polisi.

Peran media dalam pemberantasan korupsi, dengan memberi panggung kepada KPK, sangat luar biasa dan terpuji. Tetapi, dukungan media untuk mengungkap korupsi dengan memberi bahan-bahan informasi kepada KPK, masih sangat mengecewakan. Media berkualitas kurang berani melakukan investigasi. Yang berani hanya satu-dua. Sebab hasil investigasi media, tentang pejabat atau politisi bermasalah biasa di-counter back. Hasil investigasi dianggap menghina dan mencemarkan lalu mereka menempuh jalur hukum. KUHP, yang dibuat Belanda untuk melindungi pejabat dari kritik pers, siap menjerat pers. Ini adalah tantangan berat bagi pers.

Pers sekarang sudah bebas. Tapi, mengapa peran pers dalam pemberantasan korupsi masih mengecewakan?

Di zaman Orde Baru, hukuman bagi pers yang dianggap mengganggu pejabat ialah dengan bredel dan penjara. Sekarang bredel sudah tidak ada, bahkan UU Pers menyebut wartawan tidak boleh dipenjara. Kesalahan kata-kata dibalas dengan kata-kata dan bagi yang tidak puas boleh menempuh jalur hukum. Pers yang salah bisa didenda maksimum Rp500 juta. Namun, jika yang merasa tidak puas menggunakan KUHP dan KUHAP, maka di situ tersedia hukuman penjara sampai sembilan tahun dan denda sampai Rp1,5 triliun.

Memang benar kebebasan pers di era Reformasi jauh lebih signifikan dibanding Orde Baru. Tapi harus hati-hati, kemerdekaan pers kita sekarang bagaikan madu dan racun: madunya adalah UU Pers sedang racunnya yaitu 37 pasal di KUHP yang bisa mengirim wartawan ke penjara. UU Pers melindungi wartawan sedang KUHP siap memenjarakan.

Dengan masih adanya banyak ancaman, apakah pers bisa disalahkan jika tidak mampu berperan maksimal?

Pers yang baik tidak bisa disalahkan, tapi pers sebagai penumpang gelap kemerdekaan pers yang disalahkan. “Pers gelap” itu tahu “kolam ikan” kita kotor karena masih banyak korupsi. Mereka mendirikan koran dan melakukan investigasi. Tujuannya bukan untuk pemberantasan korupsi tapi bagi-bagi hasil korupsi. Sejumlah media itu telah diadukan ke Dewan Pers.

Sekarang ini ada sekitar tujuh media bernama “KPK”. Ketua KPK Antasari Azhar dan Kapolri Sutanto mengeluh ke Dewan Pers mengapa nama mereka dikaitkan dengan media-media itu. Kemudian Dewan Pers memanggil tiga media di antaranya. Dewan Pers mengatakan kepada mereka, jika ingin membantu memberantas korupsi jangan gunakan nama KPK. Memang ada sebagian media yang dapat mendiskreditkan media lain yang ingin serius membantu pemberantasan korupsi. Inilah kondisinya.

Apakah media mainstream belum memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi?

Media dalam kaitan pembahasan ini dapat dibagi dua, yaitu media berkualitas atau mainstream dan media abal-abal. Media berkualitas di Jakarta maupun di daerah lain, sejauh yang saya amati, tidak proaktif melakukan investigasi korupsi. Mereka tahu pejabat, pebisnis atau politisi yang diinvestigasi dapat menempuh jalur hukum karena dilindungi oleh KUHP. Jika mereka mengadu ke penegak hukum, dan penegak hukum menggunakan KUHP, maka akan sangat merepotkan media berkualitas. Sehingga media-media itu memilih diam.

Sementara media abal-abal, mereka melakukan investigasi tetapi sasarannya bukan untuk memberantas korupsi. Mereka meminta kepada pelaku korupsi untuk bagi-bagi hasil korupsinya.

Berbeda dengan di Amerika. Di sana ada Kongres, tugasnya mengawasi pemerintah. Mereka bekerjasama dengan pers. Sehingga temuan-temuan pers mengenai dugaan korupsi digunakan oleh Kongres untuk mengupayakan pemerintahan bersih. Jika ada perkara, penegak hukum selalu menggunakan temuan-temuan pers dalam rangka memerangi korupsi. Di sana penegak hukum berkecenderungan melindungi kemerdekaan pers.

Di Indonesia juga ada DPR yang memiliki fungsi pengawasan. Namun yang terjadi, sesuai laporan ke KPK, DPR ternyata juga sarang korupsi. Jadi, pers tidak lagi punya teman. Informasi dari pers berkualitas seharusnya digunakan oleh penegak hukum untuk menyeret terduga korupsi ke pengadilan. Namun, bukan tersangka yang diseret ke pengadilan tetapi medianya.

________________________________

Penelepon:

Saiful (Jakarta): Peran pers dalam pemberantasan korupsi saat ini cukup baik dibanding sebelumnya, kita berikan apresiasi. Kita ingin pers yang berdemokrasi, yaitu ada keseimbangan. Pers tidak perlu takut dengan ancaman hukuman karena mengacu pada asas praduga tak bersalah dan kesetaraan di depan hukum. Negara kita baik. Yang tidak baik adalah oknum penyelenggaran negara. Oknum inilah yang dikejar pers selaku pengontrol.

___________________________________

Ada tanggapan terhadap penelepon tadi?

Apa yang dikemukan Saiful memang telah menjadi pedoman bagi pers. Sesuai dengan UU Pers dan kode etik, pers memang harus sesuai dengan tatanan demokrasi dan berimbang. Namun masih ada ketentuan lain, yaitu KUHP. Investigasi pers dalam mengungkap korupsi, sesuai UU Pers, dilindungi karena semangatnya memberantas korupsi. Tapi berita dugaan korupsi, oleh KUHP, bisa dianggap penghinaan dan hukumannya penjara sembilan tahun. Walaupun berimbang dan ada hak dari terduga korupsi untuk memberi penjelasan, tapi kalau mengadu ke penegak hukum dengan menggunakan KUHP maka semua dugaan korupsi dan kritik pers bisa dianggap pencemaran.

Pers bukan tidak berani. Di zaman Orde Lama wartawan Mochtar Lubis dipenjara sembilan tahun dan di masa Orde Lama dipenjara 2,3 bulan. Saat Orde Lama dan Orde Baru ada 237 penerbitan dibredel karena mengkritik. Sekarang banyak wartawan yang berani tapi medianya tidak berani, takut bisnisnya hancur.

Banyak media berkualitas tidak proaktif mengungkap korupsi karena mereka tahu biaya yang dikeluarkan mahal, apalagi sampai ada tuntutan. Karena itu, mereka lebih memilih memberi liputan yang sangat baik mengenai keberhasilan KPK. Hanya satu-dua yang menjadi lokomotif dengan berani mengungkap dugaan korupsi.

____________________________________

Penelepon

Abdullah (Banda Aceh): Ada media abal-abal ada media mainstream. Saya pribadi tidak terlalu berharap kepada media mainstream karena mereka sudah berubah menjadi lembaga bisnis. Kalau memberitakan korupsi takut bisnisnya hancur. Media abal-abal kalau meliput sering meminta amplop. Namun kita bisa berharap kepada media abal-abal ini karena secara bisnis belum mapan sehingga ada keberanian. Atau, bisa jadi kita juga tidak dapat berharap kepada media abal-abal atau mainstream. Untuk apa wartawan berkualitas bekerja di media yang lebih mementingkan bisnis? 
________________________________________

Pada awal kemerdekaan Indonesia, media yang ada adalah media perjuangan. Mereka berkembang karena disubsidi pemiliknya atau partai politik pendukungnya. Masuknya sistem pasar bebas menyebabkan koran yang mengandalkan subsidi akan mati. Koran-koran partai zaman dulu semua mati karena isinya tidak menarik. Sekarang koran yang bisa hidup yang isinya independen dan harus dikelola atas kekuatan sendiri. Pers harus dibeli rakyat sehingga iklan bisa masuk. Bisnis pers semacam ini tidak ada dosa, sepanjang isinya tetap berorientasi untuk kepentingan rakyat. Supaya pers tetap laku isinya harus sesuai aspirasi rakyat.

Yang terpenting dalam industri pers, pers memiliki wartawan profesional. Rumusnya, ia mampu membuat berita atraktif, mencerahkan rakyat, dan taat kode etik. Media semacam ini pasti dibutuhkan rakyat dan itu namanya industri. Kalau ada media maju tak gentar membela yang bayar, itu namanya media industri yang salah.

Tampaknya ada keputusasaan karena media mainstream pun tidak mampu berbuat banyak dalam mendorong pemberantasan korupsi?

Masalah ini akhirnya ada di hulu. Berharap pers menjadi motor dalam pemberantasan korupsi sudah sesuai konsep clean and good governance. Tapi di Indonesia bagian hulunya tidak melindungi. Maksudnya, Konstitusi kita belum melindungi wartawan dan belum menempatkan kemerdekaan pers untuk memiliki hak konstitusional.

Pemerintah kita, mulai dari pemerintah Belanda sampai sekarang, masih menerapkan politik hukum yang mengkriminalkan pers. Kritik terhadap pejabat, politisi, atau pebisnis, dapat dinilai sebagai penghinaan atau pencemaran dan di KUHP ada pasal-pasal yang siap memenjarakan wartawan. Politik hukum ini harus direformasi. Kita harus tiru India atau Sri Lanka. Mereka tidak lagi mengkriminalkan pers. Pers paling hanya diadukan dalam perkara perdata, didenda sebatas proporsional. Karena kalau didenda sampai Rp1 triliun itu namanya membunuh pers.

Bekti Nugroho:

Hasil riset dari Bank Dunia menyebutkan negara yang memiliki kemerdekaan pers berpeluang 70\% untuk berhasil memberantas korupsi. Artinya, Indonesia punya kesempatan.

Talkshow ini terselenggara atas kerjasama Dewan Pers dengan KBR 68H.

By Administrator| 19 Januari 2009 | berita |