S. Leo Batubara: Agar Media Tidak Terjebak

images

Jakarta (VIVAnews) - Rekam jejak kontestan pemilihan umum, amat penting bagi publik. Karena itu rekam jejak kontestan harus diungkap.  Dengan begitu, pemilih tidak bingung ketika harus menjatuhkan pilihan pada pemungutan suara nanti.

Itulah salah satu tugas utama media dalam meliput pemilu: menyajikan informasi lengkap track record kontestan. Ini akan membantu publik memiliki alasan rasional memilih partai politik, calon presiden, calon wakil presiden serta calon anggota legislatif.

Media juga tidak boleh pro atau partisan kepada salah satu kandidat. Agar tidak terjebak di lingkaran itu, semestinya liputan pers berpijak pada rekam jejak. Sebab publik berkepentingan untuk tahu sosok peserta pemilu. Misalnya bagaimana integritas, kualitas, kinerja partai, calon presiden dan wakil presiden selama ini.

Untuk memenuhi syarat liputan yang baik, media mesti melakukannya dengan peliputan mendalam. Ungkap sedetail-detailnya track record kontestan.

Karenanya, peran media massa sangat efektif dalam upaya ikut menyukseskan well informed citizens di pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun ini.

Yang perlu diingat adalah pers dilarang melakukan negative campaign, kampanye negatif, berkategori black propaganda, propaganda hitam. Kode etik jurnalistik  telah mengatur hal itu. Bila media melakukan itu sama artinya menyebar keterangan fitnah, dusta dan kebohongan.

Liputan negative campaign yang diperbolehkan adalah yang sifatnya mengupas track record tadi. Karena menyajikan kekuatan dan kelemahan kontestan pemilu. Artinya, media ikut membantu rakyat agar tidak membeli kucing dalam karung.

Media juga harus memberi pencerahan melalui tulisan tajuk, byline articles, talk shows, liputan debat publik dan liputan pencapaian kontestan pemilu.

Teknik informasi seperti itu lebih efektif dibandingkan melalui iklan pemilu.

***

Persoalan lain bagi media massa, ada beberapa pasal di Undang-undang Pemilihan Umum tentang aturan kampanye peserta pemilihan umum yang membingungkan. Itu sebabnya bakal menyulitkan lembaga pengawas media seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.

Pasal itu antara lain 94 ayat 1. Disebutkan bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye pemilu.

Pasal lain yang membingungkan 96 ayat 4. Dikatakan di sana bahwa media cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan kampanye pemilu layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 detik.

UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatakan dapat membredel pers. Aturan itu tercantum di Pasal 99 ayat 1 f.

UU Pemilu dapat menjadi alat membredel media massa yang dianggap tidak adil dan tidak seimbang dalam pemuatan berita dan wawancara.

Media yang memasang iklan kampanye bagi peserta pemilu juga dapat dibredel bila tidak sesuai dengan aturan.

Aturan itu jelas bentrok dengan Undang-undang Pers. Sebab, hasil liputan media aturan mainnya di UU Pers. Dengan begitu, yang memiliki otoritas menerapkan aturan itu adalah Dewan Pers. Bukan pihak lain.

Disarikan dari diskusi Etika Peliputan Pemilihan Umum awal Januari 2009 dengan pembicara S. Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers.

 

www.vivanews.com, Rabu, 21 Januari 2009, 09:07 WIB
By Administrator| 23 Januari 2009 | berita |