Wartawan Bodrek Bukan Wartawan

images

Praktik wartawan gadungan, atau sering disebut wartawan bodrek, masih terus muncul. Masyarakat banyak yang mengeluhkannya ke Dewan Pers. Meski jumlahnya berkurang dibanding saat awal reformasi, namun persoalan ini tetap menjadi kabar buruk bagi upaya membangun kepercayaan publik terhadap pers.

Wartawan gadungan atau wartawan bodrek tentu saja bukanlah wartawan dalam arti sebenarnya. Mereka hanya menunggangi pers untuk kepentingan pribadi atau golongan. Cuma berbekal kartu pers, atau bukti lembaran suratkabar yang hanya terbit satu-dua edisi, mereka mendekati narasumber dengan alasan ingin wawancara namun ujungnya meminta uang. Bahkan tak jarang dengan cara pemerasan.

Pemerasan adalah tindakan kriminal yang dapat langsung dilaporkan ke polisi. UU No.40/1999 tentang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik tidak akan melindungi praktik pemerasan berkedok wartawan ini.

Dewan Pers telah banyak menggelar sosialisasi. Tujuannya mendorong masyarakat, terutama yang menjadi korban, agar tegas melawan praktik wartawan gadungan. Masyarakat perlu mengenal perbedaan praktik wartawan profesional dengan wartawan gadungan.

Untuk mendiskusikan lebih jauh persoalan ini, program Pilar Demokrasi KBR 68H, edisi 13 Oktober 2008, atas dukungan Dewan Pers mengangkat tema “Memberantas Wartawan Gadungan”. Siaran ini menghadirkan pembicara Anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin, dengan host tamu Bekti Nugroho dan pemandu acara Budhi Kurniawan.


Apa yang membedakan wartawan bodrek dengan wartawan sungguhan?

Profesi wartawan bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur. Dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

Jika ada orang berniat mencuri, merampok, atau membodohi masyarakat dengan bermodal kamera atau seragam wartawan, maka dia bukan wartawan. Wartawan gadungan suka mendatangi, misalnya, orang yang tidak paham tentang siapa dan apa pekerjaan wartawan. Atau mendatangi orang yang sebenarnya paham jurnalistik dan aspek hukum pers, tetapi karena orang itu bermasalah, maka ikut menjadi bagian dari wartawan gadungan. Ada aspek saling memanfaatkan. Orang itu bisa menjadi perahan atau sebaliknya si wartawan menjadi penyelamatnya.

Bagaimana dengan wartawan yang bekerja di media yang terbitnya kadang-kadang?

Saat ini adalah masa transisi dari masa lalu yang sangat menekan dan represif terhadap kemerdekaan pers. Kini sudah dilepaskan simbol-simbol kekuasaan pemerintah yang sepertinya tak terbatas itu. Kemudian dibuat UU Pers yang menghapus semua atribut yang dapat membelenggu kemerdekaan pers. Misalnya tidak ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, tidak ada pemberedelan, tidak ada wadah tunggal organisasi wartawan, dan tidak ada keharusan wartawan mengikuti penataran. Sehingga kita masuk ke suatu ruang yang seolah sangat bebas, tanpa orang lain di dalamnya. Di sinilah muncul persoalan profesionalisme.

Apa itu persoalan profesionalisme? Seseorang yang disebut memiliki profesi harus mempunyai kompetensi yang didapat melalui pelatihan singkat, pendidikan singkat atau formal. Dengan pelatihan tersebut ia memiliki keahlian. Ia bekerja tidak semata-mata karena profesinya namun juga memiliki tanggung jawab terhadap karyanya. Apakah karyanya telah memberi manfaat, misalnya.

Kriteria mengenai profesionalisme ini sulit dibuat dalam satu regulasi. Sekarang persoalan itu dikembalikan ke Dewan Pers. Namun Dewan Pers dalam posisi yang gamang. Kalau Dewan Pers membuat higher regulation (aturan-aturan yang berlebihan), Dewan Pers bisa kembali ke masa Departemen Penerangan. Tetapi, jika dibiarkan, para “pembonceng-pembonceng pers” semakin keterlaluan.

---------------------

Melalui pusat SMS (short massage service), Dewan Pers menerima sejumlah SMS yang isinya mengeluhkan keberadaan wartawan bodrek, antara lain:
• “Tolong wartawan gadungan diberantas karena merusak citra pers, terutama menjelang lebaran”.
• “Bagaimana mengatasi wartawan bodrek yang datang tiap Jumat meminta jatah dan selalu mengatasnamakan kebebasan pers.”

-----------------------

Setelah sembilan tahun kebebasan pers, keberadaan wartawan gadungan belum dapat dihilangkan. Sementara Dewan Pers terbatas kewenangan untuk memberantas wartawan gadungan. Lalu, apa yang dapat diupayakan Dewan Pers?

Saat ini kita berada dalam paradigma kemerdekaan pers baru yang menurut UU Pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Artinya, kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers, tetapi milik masyarakat berdaulat yang direfleksikan melalui kemerdekaan pers. Sehingga kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan masyarakat dan demokrasi.

UU Pers menyebut tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain, menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Inilah paradigmanya. Persoalannya, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan? Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum sementara mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?

Publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak berwajib. Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya dengan kemerdekaan pers. Sebab wartawan gadungan bukan wartawan. Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.

-----------------------

E-mail dari Jember yang diterima Dewan Pers: “Kami dari Forum Media Jember Bersatu mohon bantuan untuk masukan terkait dunia jurnalistik di Jember yang semakin keluar dari rel jurnalistik. Pers dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu. Pers di Jember dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk tindakan tidak terpuji.

--------------------

Ada wartawan bekerja di media yang jelas tetapi meminta uang kepada narasumber usai meliput. Bagaimana menyikapinya?

Kalau wartawan bekerja secara profesional ia tidak mau meminta amplop dari masyarakat. Wartawan yang profesional biasanya bekerja di perusahaan pers yang sehat. Ciri perusahaan pers yang sehat, mereka memiliki pembaca, pendengar atau pemirsa yang mau membeli atau menonton. Sehingga ada pemasang iklannya. Mereka memiliki kredibilitas dan dapat menggaji wartawannya secara wajar.

Selama ini rendahnya kesejahteraan banyak dijadikan alasan wartawan untuk meminta amplop kepada narasumber. Apakah itu dibenarkan?

Kalau ada orang mengaku wartawan, kemudian meminta uang kepada narasumber dengan alasan gajinya tidak mencukupi, sebaiknya ia mundur saja dari profesi wartawan. Perilakunya mencederai kehormatan profesi wartawan.

Harapan masyarakat kepada Dewan Pers sangat besar. Bahkan berharap Dewan Pers bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan besar. Harapan itu tidak mungkin.

Selama ini Dewan Pers sudah merespon keluhan masyarakat mengenai perilaku wartawan gadungan atau wartawan sungguhan. Dalam hal regulasi, Dewan Pers telah membuat Standar Kompetensi Wartawan. Karena itu, pertama, Dewan Pers menghimbau sebaiknya wartawan bergabung dengan satu organisasi. Dengan begitu ia terikat pada etika di organisasi tersebut. Kedua, Dewan Pers telah membuat standar minimal pendirian perusahaan pers yang mengatur, misalnya, soal modal.

------------------------

Penelepon:

Bangun Simbolon (Bekasi): “Mengenai wartawan bodrek, dalam kondisi ekonomi yang sulit, orang banyak berpikir yang mudah itu menjadi wartawan. Preman pun banyak jadi wartawan. Kelakuan pejabat juga perlu diperhatikan. Siapa sebenarnya yang berwenang mengeluarkan kartu pers? Misalnya pengacara, mereka membuat satu wadah yang boleh mengeluarkan kartu pengacara. Untuk mendapatkan kartu pengacara perlu menjalani tes dan pendidikan. Apakah di wartawan juga ada ujian seperti itu?

-------------------------

Di satu pihak ada wartawan yang nakal. Di lain pihak ada masyarakat atau pejabat yang bermasalah dan menyediakan amplop untuk wartawan. Darimana memulai mengatasinya?

Adalah istilah garbage in garbage out: Kalau masuknya sampah akhirnya yang keluar juga sampah. Kalau ada masyarakat yang kehilangan akal, kemudian membuat perusahaan pers atau menjadi wartawan tanpa kompetensi apapun di bidang pers, akhirnya produk yang dihasilkannya juga sampah.

Persoalan lainnya menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak terpuji, yang biasa disebut oknum ---meski bisa jadi sebenarnya bukan oknum tapi perilakunya telah struktural dan kurtural. Saya setuju dengan apa yang dikatakan wartawan Indonesia Raya, Mochtar Lubis,  bahwa korupsi dan munafik telah membudaya, dan itu masih terjadi sampai sekarang.

Kalau kita punya moral, etika, dan kompetensi, sedarurat apapun kita tidak akan memilih menjadi wartawan gadungan atau amplop.

------------------------

Bekti: Persoalan wartawan amplop akhirnya kembali ke diri wartawan. Bagi wartawan profesional, jangankan meminta, diberi amplop pun ia menolak. Kebanggaan wartawan justeru pada penolakannya. Ketika menolak, integritas dan citra wartawan akan terangkat dan kembali bermartabat.

-------------------------

Bagaimana dengan prosedur mendapatkan kartu pers?

Untuk mengatasi problem rendahnya kompetensi wartawan, Dewan Pers memiliki program pendidikan dan pelatihan untuk wartawan bernama Sekolah Jurnalistik. Program ini masih terbatas dan dilakukan bekerjasama dengan LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo). Pesertanya akan mendapat sertifikasi di bidang etika. Karena etika dianggap yang terpenting. Wartawan perlu diyakinkan, kalau mereka memiliki kemampuan profesional yang diikuti etika maka mereka memiliki kedudukan bermartabat.

Setiap profesi modern memiliki organisasi. Di dalam organisasi itu melekat etika sebagai mahkota. Dimungkinkan wartawan membuat organisasi tunggal, seperti advokat, yang dapat mengeluarkan sertifikat. Persoalannya tinggal bagaimana stakeholders di kalangan pers dan masyarakat memiliki kesepakatan. Sebab, jika sebagian sepakat dan sebagian tidak, akan jadi masalah. Wartawan profesional memang sebaiknya dibekali sertifikat yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang disepakati bersama.*

By Administrator| 11 Februari 2009 | berita |