Jakarta (Berita LPDS) - Hingga kini kebebasan pers Indonesia masih sering dituding kebablasan. Tudingan itu, bagi Atmakusumah Astraatmadja, sama sekali tidak tepat. Sebab, tidak ada pers kebablasan. Bahkan, katanya, 'Pers harus diberi kebebasan seluas dan seplural mungkin.'
Pluralisme pers, Atma menilai, tidak mungkin dihindari. Sebab, setiap penerbitan pers pasti memiliki segmen pembacanya sendiri. Latarbelakang sebagian besar pembaca harian Kompas, misalnya, berbeda dengan harian Lampu Hijau. Sehingga tidak mungkin memaksa pembaca Kompas beralih ke Lampu Hijau, atau sebaliknya.
Meski pers harus bebas dan plural, Atma memastikan, hukum tetap harus ditegakkan jika pers melanggarnya. Demikian juga pelanggaran terhadap etika pers.
Atma menambahkan, pers hendaknya berani melayani tuntutan hukum. Hanya saja, hukum di Indonesia dianggap terlalu berat bagi pers. Karena itu, sebelum memutus sengketa pers, hakim pengadilan diharapkan dapat mempertimbangkan pentingnya kebebasan informasi dan pers. Sehingga kebebasan pers dan ekspresi tidak dirugikan.
Pendapat Atma ini disampaikan saat peluncuran dua bukunya di Jakarta Media Center, Selasa (24/02/2009). Buku pertama berjudul Tuntutan Zaman: Kebebasan Pers dan Ekspresi diterbitkan oleh penerbit VHR dan Spasi. Buku setebal 427 halaman ini berisi tulisan-tulisan Atma selama kurun 30 tahun terakhir. Sebagian dari tulisan tersebut belum pernah dipublikasikan.
Buku kedua Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja diterbitkan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). Buku ini mengupas perjalanan hidup Atma, terutama 50 tahun karirnya di dunia pers. Sejarah pers Indonesia, dari zaman Orde Lama hingga saat ini, dapat dipelajari dari perjalanan hidup Atma yang diungkap dalam buku ini.
Jembatan
David T. Hill, pengamat dari Australia yang pernah menulis beberapa buku tentang pers Indonesia, menilai sosok Atma sebagai intelektual yang mampu menjembatani perbedaan antara gerakan pegiat pers dilapis bawah dengan kelompok lapis atas. Kelebihan Atma ada pada kemampuan membahasakan gerakan yang ada sehingga bisa dipahami kedua kelompok. Peran Atma ini sangat terasa terutama menjelang keruntuhan rezim Orde Baru.
'Ia adalah seorang sekularis yang memberi ruang kepada semua aliran,' kata David tentang Atma.
Sebagai salah satu pembicara dalam peluncuran buku Atma, David menceritakan awal perjumpaannya dengan Atma. Tahun 1980, ketika pertama datang ke Indonesia untuk melakukan riset tentang harian Indonesia Raya, David disarankan oleh Moctar Lubis untuk menemui Atma. Sebab, menurut Moctar seperti diceritakan David, Atma dianggap lebih memahami Indonesia Raya.
'Saya menganggap diri sebagai murid yang belajar pada guru ini (Atma),' ungkap David.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Media Massa, Henry Subiakto, menilai Atma adalah sosok yang luar biasa. Menurutnya buku Tuntutan Zaman: Kebebasan Pers dan Ekspresi patut jadi rujukan bagi orang yang ingin mendalami sejarah pers Indonesia.
Buku tersebut, lanjut Henry, menegaskan bahwa demokrasi --di antaranya melalui kebebasan pers dan ekspresi-- memang tuntutan zaman. Pemimpin otoriter tidak akan mampu mencegah desakan demokrasi. Mereka hanya dapat memperlambat geraknya saja.
'Atma adalah proses mempercepat demokratisasi,' tegas Henry.(*)
Foto: Dokumen LPDS