Menyongsong pesta demokrasi terbesar yakni pemilu 2009, pers menyediakan ruang yang cukup besar untuk liputan seputar kampanye dan pemilu. Hampir semua media cetak mengalokasikan sekitar 2-4 halaman khusus untuk liputan pemilu.
Pers memang diakui sangat berperan dalam memberitakan informasi termasuk masalah yang ditemui seputar persiapan pemilu. Sebagian besar masyarakat mendapat informasi dan mengetahui gegap gempita kampanye terbuka melalui liputan media massa. Diakui atau tidak, peran pers sangat besar dalam kesuksesan pemilu 2009. Karena itu, mendorong profesionalisme pers dalam meliput pemilu berarti sejalan dengan upaya mendorong pemilu yang berkualitas dan demokratis. Pertanyaannya, sudahkah pers memerankan fungsi yang mencerdaskan pemilih? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dengan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara:
Secara umum bagaimana Anda melihat liputan pers tentang pemilu saat ini?
Kalau kita amati media kita bisa dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, media the mainstream yang berkualitas. Kedua, media yang tidak berkualitas. Sepanjang media berkualitas, yang jadi the mainstream, saya melihat liputan mereka tentang pemilu cukup komprehensif, memberi edukasi, pencerahan, sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi yang cukup obyektif. Media the mainstream cukup memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam arti memberikan arti penting pemilu termasuk cara menggunakan hak pilih. Berita-berita itu sebagian besar bersumber dari KPU dan Bawaslu. Media jadi panggung utama penyampaian pesan KPU dan Bawaslu. Media juga memberikan masukan kepada KPU dan Bawaslu dan parpol tentang penyelenggaraan pemilu 2009 termasuk kendalanya.
Pada proses persiapan, muncul kesan pers menyerang KPU karena persiapannya yang dinilai kurang memadai. Bagaimana Anda melihatnya?
Saya kurang sependapat jika dikatakan media menyerang KPU. Justru media - hemat saya - mengemukakan berbagai kelemahan penyelenggaraan pemilu agar diketahui KPU. Maksud berita negatif ini bukan menyerang, tapi agar KPU bisa membuat keputusan, kebijakan dalam rangka mengatasi persoalan. Sasarannya adalah agar pemilu tidak boleh ditunda, dan agar berkualitas. Media menemukan kendala yang dialami masyarakat dan menyampaikannya kepada KPU. Justru media memberi masukan kepada KPU. Pers di sini berfungsi menggonggon. Dan itu dilakukan karena ada problem.
Jadi pers hanya berfungsi sebagai jembatan sehingga persoalan masyarakat diketahui KPU?
Personil KPU tidak banyak, tetapi jumlah media begitu banyak. Ada sekitar 1000 media cetak, 2000 media radio, dan 200 televisi. Dengan jaringan yang luas, media bisa mendapatkan informasi luas yang disampaikan kepada KPU. Maksudnya untuk membantu KPU agar segera mengambil kebijakan dan agar KPU bisa membuat jadwal yang tepat untuk mengatasi persoalan itu.
Apa komentar Anda tentang media yang tidak netral atau tidak independen?
Saya kira masyarakat sudah semakin memahami media seperti itu. Memang ada aturan main menurut standar profesi bahwa media harus independen. Tapi kalau media tidak independen, atau partisan, itu tidak melanggar UU. Kalau tiap parpol membuat media, dan isinya tentang parpol tersebut, maka boleh-boleh saja. Itu namanya media partisan. Tapi media seperti itu tidak laku di masyarakat dan karena itu digratiskan. Tapi media yang mainstream harus independen. Kalau tidak maka akan ditinggalkan pembaca dan akan mati. UU Penyiaran pasal 36 ayat 4 menegaskan media radio dan televisi harus independen, tidak boleh berpihak. Kalau melanggar bisa kena sanksi berupa denda, siaran diberhentikan, atau izin tidak diperpanjang. Kalau kesalahannya berakumulasi, sistem membolehkan izinnya dibredel, walau harus melalui putusan pengadilan. Jadi, ada beda antara media cetak dan elektronik.
Apa pertimbangannya?
Pertama, kalau membuat stasiun radio atau televisi, maka harus mendapat izin frekuensi. Sementara frekuensi yang tersedia terbatas. Karena itu, siapa saja yang mendapat izin frekuensi, dia harus taat pada regulasi yakni harus netral dan tidak berpihak. Sementara media cetak bisa diterbitkan asal memiliki badan hukum. Kedua, kita membaca koran atas kehendak kita sendiri. Kita dapat memilih koran sesuai kehendak kita. Sementara media televisi dan radio bisa masuk ke rumah walau tanpa diundang. Karena dia bebas masuk rumah kita walau tanpa diudang, maka regulasinya lebih keras. Karena itu media seperti ini harus netral.
Apakah pemberitaan pers tentang pemilu sudah mencerdaskan?
Sebelum ini, dalam setiap pemilu, rakyat belum berdaulat. Dalam arti pemilih sebatas memilih tanda gambar parpol. Sedangkan pemilu 2009 ini rakyat benar-benar berdaulat. Mereka berhak menentukan siapa yang mewakili mereka. Dalam pemberitaan tentang pemilu, media dapat dibagi dua, yaitu media the mainstream yang sangat kuat dalam pencerahan. Media berkualitas seperti ini ada di setiap provinsi. Dalam road show saya di 33 provinsi, media berkualitas ini setia pada kode etiknya. Dalam laporan tentang pemilu yang bersumber dari KPU dan tokoh politik, media seperti ini cukup memberi pencerdasan kepada rakyat sehingga rakyat tahu perkembangan pemilu. Ketika media menemukan banyak persoalan, itu juga diberitakan.
Bagaimana pemberitaan media tentang partai politik dan para caleg?
Saya kira belum optimal. Media memang selama 10 tahun sudah bebas. Mereka bebas menerbitkan pers tanpa izin. Tapi dalam satu hal mereka sangat hati-hati mengeritik pejabat pemerintah dan partai politik. Padahal, kita tahu jumlah parpol saat ini sangat banyak dengan caleg yang banyak pula. Mereka mengiklankan diri seolah-olah menjadi orang nomor satu. Padahal, diantaranya banyak yang busuk. Dan media sangat berperan untuk menguliti mereka. Tapi media belum berani dan terlalu hati-hati sehingga kurang membantu rakyat untuk memilih secara benar. Itu yang seharusnya dilakukan pers.*
Talkshow ini terselenggara atas kerjasama Dewan Pers dengan KBR68H.