Jakarta (TEMPO Interaktif) - Dewan Pers mengkritik tayangan televisi nasional telah menyimpang dari kebebasan pers. "Televisi jauh lebih banyak penyimpangannya daripada media cetak," ujar Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal di Jakarta Media Center, Selasa (5/5)
Menurut dia, dengan banyaknya pemodal yang bermain di industri pertelevisian tayangan yang muncul sarat kepentingan bisnis. Tayangan yang muncul, kata dia, cenderung disesuaikan dengan untung-ruginya media tersebut berdasarkan iklan dan rating. Situasi ini, ia melanjutkan, juga terjadi di beberapa negara.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Sasa Djuarsa Sendjaja, menyayangkan akibat kebebasan pers, tayangan televisi marak reality shows yang menonjolkan unsur popularitas, konflik, sensasi dan seks. "Kalau dalam jurnalisme disebut yellow journalism," jelasnya. Lembaganya masih bingung menentukan kriteria tayangan tersebut apakah masuk jurnalisme atau tidak.
Pemerintah, ujar Sasa, cenderung diskriminatif pada media penyiaran yang mengarah ke penyiaran publik dan komunitas. Akibat media penyiaran swasta dan televisi berlangganan yang tumbuh dan berkembang, siaran komunitas menjadi tidak berkembang.
Siaran komunitas baik televisi maupun radio, menurut duia, hingga kini belum jelas aturannya baik secara kepemilikan ataupun isi. Padahal, peluang media komunitas menjadi siaran alternatif masih terbuka. "Barangkali bisa mewarnaai siaran yang ada," harapnya.
Ignatius Haryanto,Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan mengakui pemerintah masih menganggap remeh siaran komunitas. Ia mencontohkan di Nusa Tenggara Barat, peran radio komunitas bisa menjadi sarana pengiriman uang tenaga kerja luar negeri. Jika pemerintah mau melirik siaran komunitas, kata Hariyanto, masih ada peluang untuk mengisi tayangan yang diluar selera pasar. (DIANING SARI)