JAKARTA (Koran Tempo) - Di tengah sejumlah kritik dan pandangan pesimistis sejumlah pihak, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal masih menilai situasi kebebasan pers Indonesia dalam kurun 10 tahun ini cukup bagus. “Kalaupun ada program atau media yang tak mendidik atau melanggar kode etik, itu hanya ekses,” kata Amal seusai diskusi di Jakarta kemarin.
Dewan Pers dan badan dunia Unesco menyelenggarakan diskusi “Refleksi 10 Tahun Kebebasan Pers di Indonesia” di Jakarta kemarin. Kegiatan itu untuk memperingati 10 tahun lahirnya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang selama ini dijadikan tonggak penting bagi kebebasan pers di Indonesia.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa, dalam seminar itu, menyatakan bahwa cukup banyak kritik terhadap program acara di televisi Indonesia yang dinilai tak mendidik. Utamanya karena berbau kekerasan, mengandung materi seks dan pornografi, gosip, serta mistik. Menurut dia, banyaknya program semacam itu akibat ketatnya persaingan karena makin banyaknya media. “Karena persaingan, isi yang dikorbankan,” kata Sasa.
Menurut dia, situasi ini diperparah oleh kurang beragamnya isi siaran karena dominannya lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan. Sayangnya, kata dia, pemerintah lebih memberikan perhatian kepada dua lembaga penyiaran ini. “Sementara kondisi lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas termehek-mehek dan didiskriminasi,” kata dia.
Pengacara Todung Mulya Lubis, dalam seminar itu, mengungkapkan bahwa Undang-Undang Pers merupakan tonggak penting bagi kebebasan pers, meski ia mengkritik isi undang-undang itu tak lengkap. Ia menilai undangundang itu perlu diperbaiki sehingga juga mengatur di antaranya penanganan kasus pencemaran nama baik.
Jika perbaikan itu dilakukan, ia berharap kasus-kasus yang melibatkan pers diadili dengan undang- undang tersebut. Pengadilan, kata dia, juga mesti menolak menangani kasus jika mekanisme melalui Undang-Undang Pers belum dilalui.
Ihwal kemenangan majalah Time melawan Soeharto, serta preseden positif lainnya seperti kemenangan majalah Tempo melawan Tomy Winata, yang menjadikan Undang-Undang Pers sebagai rujukan, juga tak bisa dijadikan jaminan. “Itu pengecualian,” kata dia. Otonomi hakim membuat hakim tak wajib mengikuti putusan yang dibuat sebelumnya.
Adanya surat edaran Mahkamah Agung Nomor No. 13/2008 kepada pengadilan di bawahnya juga tak bisa dijadikan jaminan bahwa hakim- hakim selalu menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani sengketa media. Selain karena soal “otonomi hakim”, surat tersebut juga sebatas imbauan, bukan kewajiban. “Sehingga tak ada sanksi bagi yang mengabaikannya,” kata Mulya.
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menilai surat edaran itu baru satu langkah awal untuk mendorong penegak hukum menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani sengketa media. Mengenai soal perbaikan terhadap Undang-Undang Pers, kata Leo, Dewan Pers menilai perlu adanya jaminan lebih dulu di Konstitusi agar kebebasan pers dilindungi. “Agar perubahan terhadap Undang-Undang Pers tidak malah lebih buruk,” kata dia. ABDUL MANAN | DIANING SARI