Musim kampanye dan pemilihan umum legislatif (pileg) baru saja selesai. Tidak dapat disangkal, media (pers) berperan besar dalam kesuksesan seorang calon dan pencitraan sebuah partai politik. Namun, tidak sedikit, pers tampil sebagai "alat" pihak tertentu untuk menjegal lawan politiknya. Pers yang menampilkan dirinya sebagai "alat" politik pihak tertentu ini jelas merugikan pihak lain. Karena itulah, tak heran bila muncul berbagai gugatan terhadap pers karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.
Hingga saat ini, Dewan Pers telah menerima banyak pengaduan masyarakat terkait pelanggaran pemilu yang baru saja usai. Dewan Pers misalnya menerima pengaduan seorang caleg dari Padang, dan Batam. Caleg tersebut mengadu karena pers melakukan pencemaran nama baik. Apa saja modus pelanggaran yang dilakukan media massa selama musim kampanye baru lalu? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dengan Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Abdullah Alamudi:
Berapa banyak pengaduan yang diterima Dewan Pers?
Dua tahun terakhir ini jumlah pengaduan yang diterima Dewan Pers meningkat. Sejak tahun 2000 ketika Dewan Pers independen didirikan, sudah lebih dari 2000 pengaduan yang masuk. Tahun lalu (2008) ada sekitar 424 pengaduan, dari sebelumnya (2007) mencapai 319. Jumlahnya memang meningkat terus. Selama Januari hingga Maret 2009 ini, jumlah pengaduan telah mencapai 142 buah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat makin mengetahui hak mereka dan mereka menggunakan UU Pers bila merasa dirugikan. Ini tentu sebuah perkembangan yang bagus.
Jenis pengaduan apa yang paling banyak?
Sebagian besar adalah pelanggaran etika jurnalistik. Karena media, wartawan tidak memahami kaidah jurnalistik sehingga mereka menulis sepihak, tanpa ada verifikasi kepada narasumber. Ini yang paling banyak. Waktu pilkada misalnya, banyak calon yang bertarung menggunakan media untuk merusak atau menghancurkan saing politiknya. Ini banyak terjadi di daerah. Dan banyak media yang menjadi kuda tunggang calon tertentu. Hal ini tentu sangat kita sayangkan, karena media tidak melakukan kegiatan jurnalistik yang sebenarnya dan menjadi alat politik tertentu. Di Jakarta, ada media yang didirikan untuk memeras. Ada media yang menggunakan nama lembaga negara seperti KPK (dengan kepanjangan yang beda). Hal ini sudah kita larang, karena media tidak boleh menggunakan nama lembaga negara. Di Batam Dewan Pers menerima pengaduan untuk koran bernama Investigasi. Koran ini memuat berita yang melanggar kode etika karena langsung menghakimi orang. Judulnya, "Caleg PPP Bohongi Warga, Terima Puluhan Rupiah Satu Tahun, Urusan Tidak Selesai". Ini berita menghakimi dan melanggar kode etik jurnalistik. Karena itu kami meminta koran mencabut berita itu dan memuat permohonan maaf. Berita tidak boleh menghakimi tanpa bukti. Kata membohongi itu jelas menghakimi dan bisa dipidana dengan denda maksimal Rp 500 juta.
Sebaiknya pihak yang dirugikan menempuh mekanisme UU Pers?
Ya, sebaiknya pihak yang merasa dirugikan tidak terburu-buru melapor ke polisi dan menggunakan KUHP. Karena pers memiliki mekanisme yang telah ditetapkan dalam UU Pers. Jika telah diselesaikan melalui UU Pers, pelapor juga diharapkan tidak meneruskannya ke polisi. Memang pada saat melapor, ada persetujuan kedua belah pihak bahwa persoalan akan selesai di Dewan Pers saja, dan tidak ada alasan lagi bagi penggugat untuk mengadukan kasusnya ke polisi. Tapi dalam banyak hal, penggugat mengajukan masalahnya ke polisi. Nah, kalau itu terjadi, kita akan mengajukan saksi ahli disertai bukti kesepakatan sebelumnya.
Dewan Pers tidak punya wewenang untuk menindak media yang melakukan pelanggaran?
Dewan Pers memperoleh wewenang menyelesaikan sengketa media dan masyarakat sesuai pasal 15 UU Pers. Dalam hal semacam itu maka Dewan Pers berusaha selalu melakukan mediasi, sebab dengan jalan ini tidak ada orang yang merasa dikalahkan atau dimenangkan. Proses yang kita capai adalah win-win solution. Kalau kita temukan media melakukan kesalahan, kita kenakan sanksi sesuai etika jurnalistik. Sanksi itu bisa dilakukan oleh Pemimpin Redaksi dan juga organisasi pers. Dalam hal sengketa, bila menemukan kesalahan di pihak pers, kita meminta pers memenuhi kewajiban melayani hak jawab dan meminta maaf. Jika pers tidak meminta maaf, maka bisa dibawa ke hukum pidana. Perlu diketahui, Dewan Pers adalah dewannya masyarakat, yang harus menjamin hak publik tidak diinjak oleh pers. Tapi di satu pihak, Dewan Pers harus menjamin kebebasan pers. Dewan Pers tidak punya wewenang untuk menindak. Di manapun di dunia ini Dewan Pers tidak punya hak menindak.
Pengaduan masyarakat mengalami peningkatan. Apa yang bisa disimpulkan dari data ini?
Pertama, ini bukti masyarakat makin sadar menggunakan UU Pers jika dicemarkan nama baiknya. Kedua, mungkin juga karena makin banyak pers abal-abal. Pers abal-abal ini makin tidak punya tempat dalam masyarakat dan mereka hanya jadi kuda tunggang pihak tertentu.
Apa yang Anda harapkan dari kasus pengaduan tersebut?
Dewan Pers berharap agar masyarakat menggunakan UU Pers ini bila menghadapi masalah dengan media massa. Kita juga berharap agar polisi, ketika menerima pengaduan, harus melihat apakah pengaduan itu menyangkut hukum pidana (pencemaran) atau tidak. Kalau soal pemberitaan maka kasus itu sebaiknya masuk etika dan menggunakan UU Pers. Ketua Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu juga telah mengeluarkan surat edaran kepada semua hakim yang berisi, kalau menerima pengaduan, pengadilan hendaknya meminta pertimbangan dewan pers untuk menilainya. Kalau ada pengaduan, maka diharapkan polisi mengutamakan UU Pers.