Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden yang melarang pemberitaan tentang calon presiden dan wakil presiden pada hari tenang. Masih ada aturan lain yang mengancam kebebasan pers.
SENYUM mengembang di wajah Hendrayana. Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Pers itu gembira karena Mahkamah Konstitusi, Jumat pekan lalu, mengabulkan semua permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan tujuh media. ”Putusan ini harapan kita semua,” ujarnya.
Dalam putusannya pekan lalu itu, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mahfud Md., menyatakan Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata ”berita”, Pasal 56 ayat (2), (3) dan (4), serta Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ”Karena bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Putusan itu jatuh tanpa dissenting opinion—perbedaan pendapat—dari sembilan hakim konstitusi. Dalam putusannya setebal 38 halaman itu, majelis menyatakan, setiap orang berhak mengetahui dan menyampaikan berita mengenai pasangan calon presiden dan wakilnya. Menurut majelis, penyiaran berita calon presiden dan wakil presiden justru membantu memberikan informasi kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas calon presiden. ”Semuanya berpulang pada penilaian subyektif pendengar atau pembaca berita,” kata Mahfud.
Permohonan uji materi ini bermula dari adanya ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang melarang media massa menyiarkan berita selama masa tenang. Media yang melanggar akan mendapat sanksi berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin penyiaran atau penerbitan.
Ketentuan inilah yang dinilai ganjil sekaligus dianggap membelenggu kebebasan pers. Tujuh pemimpin media massa pun, pada Mei lalu, mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal yang dianggap mengebiri pers itu. Mereka, majalah Tempo, Koran Tempo, Kantor Berita 68H, www.vivanews.com, VHR Media, The Jakarta Post, dan Jurnal Nasional. Para pemimpin media itu meminta Komisi Konstitusi mencabut pasal yang melarang pemberitaan selama masa tenang.
Hendrayana, kuasa hukum para pemimpin redaksi tersebut, menyatakan sudah memperkirakan Mahkamah akan mengabulkan permohonan itu. ”Karena ini ada yurisprudensinya,” katanya. Sebelumnya, permohonan serupa pernah juga dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. ”Kalau pasal yang diujikan sama, hasilnya kurang-lebih akan sama,” katanya. Menurut Hendrayana, putusan Mahkamah mempertegas, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi itu dijamin dalam konstitusi.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Ferry Mursyidan Baldan, menyatakan Mahkamah memang sudah seharusnya memutus demikian. ”Saya hanya menyayangkan, kok sampai diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Menurut Ferry, sebenarnya pemberitaan yang dilarang dalam pasal tersebut bukanlah berita dalam arti karya jurnalistik. ”Kalau pemberitaan semacam itu tidak ada masalah,” katanya. ”Yang prinsip adalah tidak boleh kampanye, pasang iklan,” ujarnya. Media, kata Ferry, tetap saja bisa memberitakan kegiatan pasangan calon presiden dan wakilnya selama masa tenang. ”Kita sudah berkali-kali pemilu, tidak ada masalah mengenai hal ini.”
Putusan Mahkamah yang menyetip pasal-pasal yang melarang media memberitakan calon presiden dan wakil presiden selama minggu tenang itu juga disambut gembira Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara. ”Semangat putusan Mahkamah sama dengan Undang-Undang Pers,” katanya. Hanya, Leo mengingatkan, itu bukan berarti Mahkamah dikatakan sepenuhnya mendukung kebebasan pers. Ia menyebut beberapa pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menurut Mahkamah masih konstitusional.
Menurut Leo, kebebasan pers sampai kini masih dikepung oleh sejumlah undang-undang yang setiap saat bisa dipakai untuk melempar wartawan ke bui. Undang-undang itu, antara lain, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU Keadaan Bahaya, UU Perseroan Terbatas, UU Kepailitan, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Penyiaran. ”Jadi, perjuangan ini masih panjang,” ujarnya. (Rini Kustiani)