Jakarta - Prita Mulyasari telah tercatat dalam sejarah perjuangan kebebasan berekspresi di Indonesia. Kasus yang dialaminya mempertegas masih ada setumpuk aturan di negeri ini yang dapat dengan mudah digunakan untuk menyeret orang ke penjara karena pendapat, keluhan, atau kritiknya.
Surat elektronik berisi keluhan terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni International, menyebabkan Prita dituntut atas tuduhan melakukan pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 ayat(3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia ditahan selama 20 hari sebelum dibebaskan atas desakan publik.
Dewan Pers memberi perhatian khusus terhadap UU ITE dan kasus yang dialami Prita. Berikut ini catatannya:
7 April 2008
Dewan Pers menggelar diskusi mengenai UU ITE. Dewan Pers menyatakan dengan tegas bahwa UU ITE perlu direvisi.
18 April 2008
Dewan Pers mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang intinya berisi tiga hal: (1) Presiden diminta tidak menandatangani UU ITE sebagai wujud keberpihakan Presiden kepada penegakan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat; (2) Di dalam Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pelaksanaan UU ITE dicantumkan secara eksplisit penjelasan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak mencakup pers; (3) Di dalam Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pelaksanaan UU ITE perlu pula dicantumkan secara eksplisit bahwa berlakunya Undang-Undang ini tidak membatasi hak masyarakat menyatakan pendapat dan berekspresi seperti dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945.
28 April 2008
Dewan Pers bertemu Menkominfo, Mohammad Nuh. Menkominfo menegaskan bahwa UU ITE tidak akan mengancam kemerdekaan pers, termasuk juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) mengenai UU ITE yang akan dibuat.
25 Mei - 2 Juni 2009
Media Massa mulai genjar memberitakan kasus Prita, terutama Koran Tempo. Dukungan kepada Prita mengalir, khususnya dari para blogger.
2 Juni 2009
Rapat mingguan Komisi Pengaduan Dewan Pers memutuskan anggota Dewan Pers akan mengunjungi Prita di tahanan. Malam harinya sejumlah wartawan dihubungi untuk mengikuti kunjungan Dewan Pers.
3 Juni 2009
Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, serta Anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin dan Bekti Nugroho, bertemu Prita. Puluhan wartawan media cetak dan elektronik ikut meliput. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Arti Widiastuti, memberi akses yang luas kepada Dewan Pers dan wartawan untuk bertemu Prita. Beberapa televisi menayangkan wawancara dengan Prita secara live. Desakan dari publik dan pejabat agar Prita dibebaskan semakin massif.Sekira pukul 16.20 WIB status Prita berubah menjadi tahanan kota.