Jakarta (Berita Dewan Pers) – Lembaga pendidikan formal di Indonesia belum mampu ikut mendorong munculnya calon wartawan profesional. Penyebabnya, sistem belajar mengajar tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk bersikap kritis. Padahal sikap kritis menjadi salah satu syarat penting untuk lahirnya wartawan profesional.
Pendapat tersebut disampaikan Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, saat menjadi narasumber dialog ”Dewan Pers Kita” bertema ”Mencari Sumber Daya Wartawan Profesional” yang disiarkan TVRI beberapa hari yang lalu. Dialog yang dipandu anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, ini juga menghadirkan pembicara Dosen Universitas Indonesia, Prof. Zulhasril Nasril, dan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Ch Bangun.
Menurut Bambang, saat ini sumber daya wartawan profesional banyak yang tidak berasal dari jurusan jurnalistik. Karena itu, Dewan Pers sudah mulai melakukan pertemuan dengan perusahaan pers dan perguruan tinggi. Tujuannya agar terjadi link and match atau keterkaitan antara kebutuhan industri pers dengan alumni perguruan tinggi. Dalam sepuluh tahun ke depan diharapkan sumber wartawan banyak berasal dari perguruan tinggi.
Diminta tanggapannya mengenai standar minimal pendidikan bagi wartawan, Bambang condong tidak menyetujuinya. Menurutnya, wartawan adalah profesi terbuka dan karyanya juga terbuka untuk umum. Penilaian terhadap wartawan dilihat dari karyanya. ”Jurinya adalah masyarakat,” katanya.
Di Portugal, Ia mencontohkan, ada peraturan yang mengharuskan calon wartawan untuk ikut pendidikan tertentu. Peraturan tersebut saat ini sedang digugat ke pengadilan dan sepertinya akan dikabulkan.
Zulhasril Nasril menegaskan, perguruan tinggi yang memiliki jurusan jurnalistik tidak dapat menjamin lulusannya menjadi tenaga siap pakai di bidang jurnalistik. Sebab, untuk menjadi wartawan profesional membutuhkan banyak syarat.
Kampus menjadi tempat paling tepat untuk mendidik calon wartawan. Namun, menurutnya, mahasiswa yang memilih bidang jurnalistik belum tentu ingin menjadi wartawan. ”Secara moral kami bertanggung jawab” kata dosen Universitas Indonesia ini.
Hal serupa diungkapkan oleh Hendry Ch Bangun. Menurutnya, alumni perguruan tinggi yang direkrut menjadi wartawan tetap memerlukan pelatihan. Ia mengingatkan perlu perusahaan pers menanamkan investasi untuk mendapat wartawan yang memenuhi kriteria.
“Tidak ada yang siap pakai meskipun berasal dari jurusan jurnalistik,” katanya.*
Kompetensi Wartawan
Terdapat tiga kategori kompetensi yang harus dimiliki wartawan:
- Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran tentang etika, hukum, dan karir.
- Pengetahuan (knowledge): mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
- Keterampilan (skills): mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera, mesin scanner, faksimili, dan sebagainya.
Sumber: Buku Kompetensi Wartawan
terbitkan Dewan Pers.