VHRmedia, Jakarta – Dewan Pers mengusulkan penyusunan panduan meliput kasus terorisme. Panduan etika antara lain untuk mencegah kompetisi tidak sehat antarmedia peliput kasus terorisme.
Anggota Dewan Pers Bambang Harymurti mengatakan, panduan tersebut berisi etika liputan kasus terorisme sehingga tidak menjadi media penyebar ketakutan. Panduan itu juga dapat menghindari dampak negatif persaingan media yang kian kompetitif.
Menurut dia, media di dalam negeri harus mengambil pelajaran dari liputan aksi terorisme di Mumbai, India, beberapa waktu lalu. Saat itu media di Mumbai menyiarkan langsung aksi penyergapan terorisme oleh polisi di sebuah hotel. Diberitakan, para teroris yang sedang di kepung di dalam hotel menyaksikan siaran langsung itu melalui beberapa pesawat televisi, sehingga mampu mempelajari strategi polisi. Ketika penyerbuan, jatuh korban lebih banyak di pihak polisi.
“Semuanya ditayangkan langsung. Hal semacam itu juga terjadi di Temanggung beberapa waktu lalu, meski gambar yang ditayangkan lebih selektif,” kata Bambang Harymurti dalam diskusi “Etika Pers Dalam Meliput Terorisme” di gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (27/8).
Menurut Bambang, setelah peristiwa tersebut semua produser televisi di India bersepakat membuat panduan meliput aksi teror. Di Amerika Serikat tidak satu pun media yang menjelaskan tentang korban tewas akibat serangan teror 11 September 2001.
Pemberitaan semacam itu dinilai membesarkan kemenangan aksi terorisme. “Di Indonesia, kami sedang memproses panduan tersebut. Tapi sebelum selesai, ada peristiwa Temanggung itu,” ujar Bambang.
Bambang mengkritisi persaingan tidak sehat antarmedia yang meliput kasus terorisme. Dalam memberitakan kasus bom di Hotel JW Marriott 17 Juli lalu misalnya, tidak satu pun media menjelaskan dari mana mereka mendapatkan rekaman CCTV pelaku bom. “Tidak ada yang mengatakan rekaman itu dibeli dari siapa. Kompetisi antarmedia biasa, tapi harus tetap sehat,” katanya.
Juru bicara Mabes Polri Irjen Pol Nanan Sukarna berharap pemberitaan terorisme didasarkan pada hati nurani. Saat ini yang dibutuhkan adalah etika untuk menjaga kepentingan bersama. “Sebenarnya ini sederhana. Ini antara polisi dan pers. Kalau kembali ke aturan hukum, sebenarnya sudah transparan. Tidak ada yang membatasi,” katanya. (E1) / Kurniawan Tri Yunanto