Disampaikan Pada Pertemuan Dengan Panitia Kerja RUU Rahasia Negara
di Ruang Sidang Komisi I DPR-RI, Selasa, 8 September 2009
I. PENDAHULUAN
Pada saat ini sedang berlangsung proses pembahasan RUU Rahasia negara. Dari DPR diwakili Komisi I DPR, sementara leading sector pemerintah adalah Dephankan. Dalam berbagai kesempatan, DPR maupun pemerintah menyatakan tekadnya untuk menyelesaikan pengesahan UU Rahasia Negara sebelum pergantian pemerintahan. Persoalannya, dari beberapa segi, RUU Rahasia Negara menghadirkan masalah serius bagi upaya-upaya pelembagaan prinsip demokrasi, good governance, hak publik atas informasi dan kebebasan pers. Bobot persoalan yang ada dalam RUU Rahasia Negara, potensi kompleksitas masalah yang dapat ditimbulkannya, tidak seimbang dengan waktu yang tersedia bagi Panitia Kerja (Panja) RUU Rahasia Negara, yang hingga tinggal hitungan hari. Legitimasi sebuah produk undang-undang ditentukan oleh hasil akhirnya dan proses pembahasannya. Maka kontroversi yang muncul terkait dengan RUU Rahasia Negara, harusnya direspon dengan membuka kembali forum-forum konsultasi publik, untuk menguji kembali urgensi dan substansi undang-undang. Percepatan pengesahan UU Rahasia Negara pada saat ini, dengan substansi yang masih jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, hanya akan memicu kontroversi yang lebih besar dan mengurangi wibawa kepemimpinan nasional.
II. REJIM DEMOKRATIK
Pelembagaan prinsip kerahasiaan negara sesungguhnya memang dibutuhkan dan lazim dilakukan di negara-negara demokrasi modern. Pelembagaan rahasia negara berangkat dari kekhawatiran bahwa publikasi dokumen dan informasi strategis dapat mengancam pertahanan dan keamanan nasional. Pemerintah memandang, perlindungan kerahasiaan negara harus dilakukan untuk memelihara kedaulatan negara dari berbagai rongrongan, terutama dari pihak asing, melalui praktek penyadapan, operasi mata-mata, pembocoran informasi dan lain-lain.
Namun perlu digarisbawahi bahwa pengaturan kerahasiaan negara di negara-negara demokrasi modern tetap dilakukan dalam quadran demokrasi, tidak bertentangan bahkan paralel dengan pelembagaan keterbukaan informasi dan good governance. Pengaturan kerahasiaan negara di negara-negara demokratis modern juga murni untuk melindungi rahasia-rahasia keamanan (genuine national security secrecy) dan tidak melebar kepada rahasia birokrasi (bureaucratic secrecy) atau rahasia politik (political secrecy). Pengaturan kerahasiaan negara di negara-negara demokratis juga senantiasa mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih besar.
III. PERSOALAN URGENSI
Dari sisi urgensi, perlu dipertimbangkan kembali rencana percepatan pengesahan RUU Rahasia Negara oleh DPR dan Pemerintah. Problem bangsa Indonesia saat ini terutama sekali bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme kerahasiaan atas informasi-informasi pemerintahan guna melindungi kepentingan negara. Namun sebaliknya, bagaimana mengakhiri dominasi rejim kerahasiaaan dan budaya ketertutupan dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan di semua lini dan semua level. Rejim kerahasiaan dan budaya ketertutupan sejauh ini terbukti masih menjadi kendala utama upaya pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance di Indonesia.
Pada sisi lain, Indonesia sesungguhnya juga telah memiliki regulasi tentang rahasia negara. Pelembagaan rahasia negara sesungguhnya sudah dilakukan dalam 10 pasal KUHP dan dalam satu bab tersendiri dalam UU KIP. Belum diteliti secara mendalam apakah regulasi perlindungan rahasia negara dalam 2 UU tidak efektif sehingga kita membutuhkan UU baru untuk mengatur rahasia negara. Pengesahan UU Rahasia Negara jika tidak hati-hati dapat menimbulkan tumpang-tindih pengaturan dengan KUHP dan UU KIP. Jika ini terjadi, niscaya akan lahir ketidakpastian hukum antara perkara-perkara yang wajib dibuka kepada publik dan perkara-perkara yang dapat dirahasiakan. Ketidakpastian hukum tentang jaminan hak-hak publik atas informasi di satu sisi dengan kebutuhan untuk merahasiakan informasi pada sisi lain.
IV. PERSOALAN SUBSTANSI RUU RAHASIA NEGARA
Dari sisi substansi, berikut ini masalah dalam RUU Rahasia Negara.
Pertama, rahasia negara dirumuskan secara luas dan elastis. Rahasia negara adalah “Rahasia Negara adalah tentang informasi, termasuk benda dan kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Undang-Undang ini untuk mendapat perlindungan sesuai dengan standar dan prosedur pengelolaan, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (pasal 1). Sudah ada perbaikan dalam rumusan ini dibandingkan dengan rumusan awal, namun lingkup rahasia negara masih tetap mencakup informasi, benda dan aktivitas. Jika merujuk pada standart internasional pengecualian informasi/kerahasiaan negara, rahasia negara seharusnya spesifik mengatur hal-ikhwal informasi saja, tidak mencakup benda dan aktivitas. Pengalaman berbagai negara menunjukkan, sangat problematis untuk melabeli aktivitas sebagai rahasia negara, dan dalam prakteknya lebih banyak merugikan kepentingan masyarakat akan akses informasi-informasi proses penyelenggaraan pemerintahan.
Kedua, RUU Rahasia Negara tidak dirumuskan di atas asas “Pengecualian Informasi/kerahasiaan negara bersifat ketat dan terbatas”, prinsip universal dalam pengaturan kerahasiaan negara yang berlaku di negara-negara demokratis. Bab Asas RUU Rahasia Negara belum mengadopsi prinsip ini, meskipun telah diusulkan oleh masyarakat sipil. Dalam Bab Asas ini justru dirumuskan asas yang tidak jelas tujuannya : “asas kesebandingan hukum”, “asas perlindungan kepentingan pribadi”, “asas keterbukaan yang dibatasi Konstitusi”. Asas kesebandingan hukum membutuhkan penjelasan lebih lanjut karena tidak cukup jelas normanya. Bagaimana kita menjelaskan kerahasiaan negara untuk melindungi kepentingan pribadi? Adakah rahasia negara untuk kepentingan pribadi? Selain itu, dalam Konstitusi kita tidak ada satu pasal pun yang membatasi keterbukaan.
Ketiga, meskipun dalam definisi pasal 1 telah terjadi pengerucutan lingkup rahasia negara pada informasi strategis terkait dengan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pada pasal 6 jenis rahasia negara masih dirumuskan secara luas dan tidak spesifik, misalnya mencakup “informasi rencana alokasi dan pembelanjaan tertentu”, ”informasi tertentu yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembelanjaan serta aset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional”, ”informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat negara yang berwenang dan bertanggung jawab dalam kondisi kesiagaan pertahanan dan/atau keadaan bahaya”, “informasi yang berkaitan dengan persenjataan, amunisi dan teknologi untuk keperluan pertahanan dan keamanan”. Memang sudah ada penambahan kata “tertentu” pada beberapa jenis rahasia negara. Namun persoalannya kemudian siapakah yang otoritatif untuk “menentukan” dan melalui mekanisme atau pengaturan pada level mana “penentuan” itu akan dilakukan?
Keempat, penetapan jenis rahasia negara tidak berhenti dalam UU Rahasia Negara, namun juga merujuk pada perahasiaan informasi di undang-undang lain (Pasal 6b). Dengan kata lain, lingkup rahasia negara tidak sebatas pada lingkup informasi strategis pertahanan, intelijen, persandingan negara, hubungan luar negeri, fungsi diplomatik dan ketahanan ekonomi nasional, namun juga jenis-jenis rahasia negara lain yang sangat mungkin mencakup rahasia instansi, rahasia birokrasi, rahasia jabatan dan seterusnya. Jika undang-undang lain menetapkan rahasia instansi, rahasia jabatan atau bentuk pengecualian informasi yang lain, maka otomatis masuk dalam kategori rahasia negara. Mari kita lihat rumusan rahasia negara dalam gugus hubungan luar negeri berikut ini : “Informasi dan dokumen berklasifikasi rahasia yang berkaitan dengan perjanjian internasional, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral dengan negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya.” (DIM 118). Tidak jelas dari mana asal klasifikasi rahasia ini, dari UU Rahasia Negara atau dari undang-undang atau peraturan yang lain!
Kelima, proses perahasiaan informasi dalam dilakukan secara kategorikal murni, tidak melalui uji konsekuensi dan uji kepentingan publik. Rahasia negara dengan ruang-lingkupnya demikian luas dan elastis, tidak dapat dibuka meskipun untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar, untuk fungsi pengawasan DPR, untuk proses power check and balances. Bahkan rahasia negara tetap tidak dapat dibuka meskipun dibutuhkan sebagai alat bukti dalam proses pengadilan, kecuali dengan seizin presiden. Unsur masyarakat telah mengajukan mekanisme uji konsekuensi dan uji kepentingan publik ini sebagai bagian integral dari pengaturan UU Rahasia Negara, namun sejauh ini belum diadopsi oleh Panja RUU Rahasia Negara.
Keenam, persoalan yang diajukan pemerintah sebagai alasan untuk melegitimasi UU Rahasia Negara adalah : (1) keterbatasan kapasitas pemerintah dalam untuk melindungi sistem tersebut, (2) kemampuan pihak asing membobol sistem kerahasiaan negara, (3) praktek akses informasi oleh masyarakat (dan pers) yang berlebihan sehingga membuka rahasia negara. Maka solusinya semestinya juga menjangkau tiga aspek ini. Namun dengan RUU Rahasia Negara, solusi yang diajukan pemerintah hanya menjangkau masalah pertama dan ketiga, yakni pelembagaan otoritas aparatus negara yang hampir tak terbatas untuk menerapkan perlindungan maksimum atas kerahasiaan negara dan pembatasan hak publik untuk mengakses informasi-informasi pemerintahan. Tidak terlihat formula pemecahan masalah kemampuan pihak asing dalam membobol sistem kerahasiaan negara kita, yang dalam konteks ini, RUU Persandian Negara lebih relevans daripada RUU Rahasia Negara.
Ketujuh, Ketentuan pidana rahasia negara sangat eksesif, sumir dan tidak memperhitungkan perlindungan hukum atas hak publik atas informasi. Tidak seimbang ketentuan pidana rahasia negara dan ketentuan pidana dalam UU KIP. Jika sanksi untuk pelanggaran atas rahasia negara minimal adalah 5 tahun dan maksimal hukuman mati, maka sanksi pidana untuk pelanggaran keterbukaan informasi maksimal 2 tahun, apapun jenis kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Ketentuan pidana rahasia negara sama sekali tidak mengatur sanksi pidana untuk badan publik/pejabat publik yang melakukan klaim rahasia negara secara salah atau klaim rahasia negara terhadap informasi publik yang justru harus dibuka kepada publik. Ketentuan pidana rahasia negara tidak memperhitungkan bahwa penentuan rahasia negara berdasarkan kategori murni, tidak dalam bentuk list informasi. Dengan demikian besar kemungkinan masyarakat tidak paham benar mana rahasia negara mana bukan rahasia negara. Maka dengan lingkup kerahasiaan yang demikian, seharusnya ada pengecualian untuk kasus-kasus dimana publik mengakses rahasia negara secara tidak sengaja.
Kedelapan, RUU Rahasia Negara mengancam kebebasan pers bukan hanya dengan menyumbat arus informasi publik untuk kebutuhan jurnalistik, namun juga dengan menerapkan pasal breidel. Hal ini terlihat jelas pada pasal 49 RUU Rahasia Negara mengatur bahwa korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. Media massa adalah korporasi yang setiap hari berurusan dengan akses informasi di lembaga-lembaga resmi. Jika klausul ini diberlakukan, dengan ruang-lingkup kerahasiaan negara yang luas dan elastis seperti di atas, maka dapat dipastikan korporasi medialah yang paling terancam oleh pidana denda dan pencabutan izin itu.
V. PERNYATAAN SIKAP
Dengan tidak sepenuhnya meninggalkan prinsip limited acces maximum exemption, RUU Rahasia Negara tetap menghadirkan ancaman tentang rejim kerahasiaan atau arcana imperii (negara misteri). Ini secara diametral bertentangan semangat dan substansi UU Keterbukaan Informasi Publik yang justru bertolak dari prinsip maximum acces limited exemption. Bahwa publik berhak mengakses informasi-informasi pemerintahan dengan pengecualian yang terbatas dan selalu merujuk kepada kepentingan publik. RUU Rahasia Negara berpotensi menimbulkan komplikasi serius bagi proses power check and balances karena tidak memberlakukan pengecualian untuk fungsi pengawasan DPR dan lembaga negara independen, juga untuk kebebasan pers.
Membaca hasil pembahasan RUU Rahasia Negara sejauh ini, terbayangkan bahwa pada saatnya nanti, fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif akan terkendala oleh klaim rahasia negara yang disampaikan organ-organ eksekutif. Kompleksitas yang sama niscaya juga dihadapi KPK, BPK atau BPKP dalam proses audit akuntabilitas penggunaan dana-dana negara di berbagai badan publik. Badan publik dapat berlindung di balik klaim rahasia instansi dan rahasia jabatan ketika berhadapan dengan proses permintaan informasi, audit atau penyidikan oleh KPK, BPK dan BPKP. Lembaga-lembaga pertahanan dan keamanan juga dapat mengajukan klaim yang sama ketika berhadapan dengan Komnas HAM dalam proses penyelidikan kasus-kasus HAM. Dalam konteks ini, lahir ketidakpastian hukum tentang informasi publik dan rahasia negara.
Dalam konteks inilah, Masyarakat Pers Indonesia menolak rencana pengesahan UU Rahasia Negara pada bulan September-Oktober 2009. Jika pembahasan RUU Rahasia Negara hendak dilanjutkan, kami menuntut hal ini dilakukan pada periode pemerintahan mendatang. Sikap ini kami putuskan bukan dengan semangat anti kerahasiaan negara, juga bukan untuk menafikan kerja keras Panja RUU Rahasia Negara, namun semata-mata dengan pertimbangan bahwa RUU Rahasia Negara yang ada saat ini, termasuk yang sudah diperbaiki pada tingkat Raker dan Panja masih belum kompatibel bagi prinsip-prinsip pemerintahan demokratis, good governance dan kebebasan pers. RUU Rahasia Negara itu juga sangat berpotensi menghapuskan capaian-capaian penting UU KIP yang notabene adalah prestasi dan kerja keras Komisi I DPR juga.
Jika pengesahan UU Rahasia Negara dipaksakan pada September-Oktober 2009 tanpa sungguh-sungguh memperhatikan harmonisasinya dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance, hanya akan memicu kontroversi nasional yang tidak kondusif bagi citra presiden dan DPR secara keseluruhan. Masyarakat sipil akan menolaknya dan komunitas pers Pers akan melakukan perlawanan. Pemerintahan SBY dan DPR memberi kado buruk kepada bangsa Indonesia pada akhir masa jabatannya kali ini, yakni dengan mengesahkan UU Rahasia Negara yang kontraproduktif bagi demokrasi, good governance, pemberantasan korupsi dan kebebasan pers. Di dunia internasional, Indonesia juga akan dicatat sebagai negara yang mengesahkan UU Rahasia Negara yang tidak sesuai dengan standard internasional tentang right to know and state secrecy. Tentu ini bukan kampanye yang baik buat upaya menarik iklim investasi asing, international tourism dan seterusnya. Sekali lagi, tanpa bermaksud menafikan kerja-keras segenap unsur Panja RUU Rahasia Negara, kami Masyarakat Pers Indonesia menolak pengesahan UU Rahasia Negara dan menuntut DPR dan Pemerintah melanjutkan pembahasannya hingga pemerintahan periode mendatang.
Jakarta, 8 September 2009,
Masyarakat Pers Indonesia :
• Dewan Pers
• Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat
• Aliansi Jurnalis Independen
• Persatuan Wartawan Indonesia
• Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
• Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)
• Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia
• Institut Pengembangan Media Lokal
• Forum Pemantau Informasi Publik