Pers Jangan Muat Gambar Mengerikan

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) - Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, meminta pers tidak memuat gambar korban bencana yang mengerikan. Pers juga tidak boleh menampilkan suara atau gambar orang menjelang meninggal dunia. Sedang untuk mengantisipasi bencana, pers perlu membantu pemerintah melakukan sosialisasi.

”Dalam meliput bencana, pers harus bekerja profesional, taat kode etik,” kata Alamudi saat menjadi narasumber acara Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI, akhir September lalu. Hadir narasumber lainnya, Budiman Tanuredjo (Redaktur Pelaksana harian Kompas) dan Toto Utomo Budi Santoso (Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial).

Masyarakat yang baru menjadi korban bencana biasanya sulit mendapat informasi. Padahal, menurut Alamudi, mereka membutuhkan informasi untuk dapat bertahan hidup. Misalnya informasi mengenai bantuan yang bisa mereka dapatkan.

Karena itu, pemerintah perlu menetapkan sistem informasi bencana yang teruji dari atas sampai bawah. Dalam kaitan ini dapat digunakan radio sebagai sarana untuk menyampaikan informasi darurat pasca bencana. ”Dan ada keterbukaan terhadap pers,” katanya.

Pemerintah seharusnya lebih banyak lagi melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bencana dan bagaimana menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Namun hal itu belum banyak dilakukan. Alamudi mencontohkan, tidak ada sosialisasi dari pemerintah kepada pemilik gedung tinggi di Jakarta mengenai cara menyelamatkan penghuni gedung saat gempa.

Budiman Tanuredjo menegaskan pentingnya peran pers untuk memberi kesadaran atau edukasi pada masyarakat bahwa Indonesia berada di lingkaran sabuk api gempa. Tanpa kesadaran tersebut setiap prediksi gempa tidak akan berarti.

Selama ini pers cukup banyak memberi pendidikan kepada masyarakat mengenai bencana, meskipun terkadang baru menonjol setelah terjadi bencana. ”Pers telah banyak melakukan dalam konteks public awareness,” ungkap Budiman.

Dalam kesempatan yang sama, Toto Utomo menjelaskan, pola penanganan bencana yang dilakukan pemerintah meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Menurutnya pemerintah telah banyak melakukan pelatihan untuk masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana.

Ia mengakui ada kendala dalam pelaksanaan pelatihan itu. Sebab, ada masyarakat yang tidak tertarik dengan pengetahuan bencana. Mereka lebih suka membaca atau melihat soal bencana setelah terjadi. ”Memang perlu ada kegiatan yang lebih terstruktur dalam kegiatan pra bencana,” katanya. (red)

Mewawancarai Korban

Yayasan Pulih memberi tips mengenai bagaimana mewawancarai korban kejadian traumatik seperti bencana alam. Berikut tipsnya:

  1. Perkenalkan diri terlebih dulu.
  2. Atur posisi duduk/berdiri dengan baik (tidak terlalu jauh atau terlalu dekat).
  3. Minta persetujuan jika menggunakan alat ****am.
  4. Berikan penjelasan maksud wawancara.
  5. Tawarkan kepada korban untuk menentukan waktu dan tempat wawancara.
  6. Hanya menanyakan yang relevan dengan peristiwa.
  7. Lakukan observasi selama wawancara, misalnya kapan mulai dan kapan berhenti wawancara.
  8. Jangan memaksa korban menceritakan pengalaman traumatiknya. Bila perlu ajukan pertanyaan terbuka dan beberapa wawancara pendek.
  9. Perlu dinamika selama wawancara karena membicarakan pengalaman traumatik dapat menimbulkan retraumatisasi.
  10. Hentikan wawancara apabila narasumber menjadi stres.
  11. Tetap profesional, menyadari apa yang terjadi pada narasumber adalah hal buruk.
  12. Tetap bersikap tenang apapun yang terjadi.
  13. Menahan diri untuk tidak menyatakan pendapat untuk berita yang sifatnya masih dugaan.
  14. Jika perlu, undanglah petugas kesehatan untuk mendampingi.
  15. Tidak menutup wawancara dengan tiba-tiba (diakhiri dengan pembicaraan yang ringan, misalnya soal hobi).

Disarikan dari makalah Yayasan Pulih
tentang Wawancara dengan Penyintas dan Keluarganya.

By Administrator| 12 Oktober 2009 | berita |