Jakarta (Berita Dewan Pers) - Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers di Indonesia disahkan pada 23 September 1999. Saat ini, setelah 10 tahun, masih banyak permasalahan pers Indonesia yang harus diselesaikan.
Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai pers baik dan pers buruk. Hanya pers baik yang selayaknya dikonsumsi. Dengan demikian masyarakat membantu terwujudnya kebebasan pers yang berkualitas.
Muncul ekses negatif dari kebebasan pers. Penyebabnya, kurangnya pemahaman wartawan terhadap kode etik dan adanya penyimpangan terhadap profesi wartawan.
Demikian beberapa pemikiran yang muncul dalam dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI nasional, Senin (12/10/2009). Hadir sebagai pembicara yaitu Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), Tjipta Lesmana (Guru Besar Universitas Pelita Harapan), dan Henry Subyakto (Staf Ahli Menkominfo Bidang Media Massa), dengan moderator Wina Armada Sukardi.
Leo Batubara menjelaskan, saat ini di setiap provinsi di Indonesia ada minimal satu media cetak berkualitas yang mampu memenuhi hak masyarakat untuk mendapat informasi berkualitas. Media tersebut unggul, berpengaruh, dan membela mereka yang tertindas. Sebaliknya, “pengaruh media yang tidak berkualitas tidak banyak,” katanya.
Apabila masyarakat mengonsumsi media-media berkualitas, lanjut Leo, mereka akan memiliki pemahaman positif tentang kebebasan pers di Indonesia. Sebaliknya, jika yang dibaca pers buruk, masyarakat akan cenderung menilai pers Indonesia penuh masalah dan kebablasan. “Jangan membaca pers kudisan,” imbuhnya.
Tjipta Lesmana merasa perlu ada sanksi lebih keras kepada wartawan yang melanggar kode etik. Hal itu perlu dilakukan karena semakin banyak masyarakat yang menilai negatif pada pers. “Saya dapat kesan media (bersikap) over,” tegasnya.
Ia mengidentifikasi ancaman terbesar kebebasan pers sekarang ini datang dari pemilik modal. Dalam sistem pers liberal seperti di Indonesia, katanya, yang paling berkuasa adalah pemilik media. “Ekses-ekses negatif semakin banyak karena (pers) sudah powerfull,” tambahnya.
Sependapat dengan Tjipta, Henry Subyakto menilai tekanan terhadap pers saat ini justru dari pemiliknya sendiri. Menurutnya, pers bersikap mendua dalam persoalan intervensi. Contohnya, apabila ada sensor atau tekanan dari negara, semua pers merespon dengan keras. Tapi jika tekanan itu datang dari pemiliknya, wartawan cenderung diam.
Sekarang kontrol pers sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Masyarakatlah yang menentukan hidup matinya media. Sistem liberal semacam ini, menurut Henry, dampaknya semakin negatif. “(ada) Over liberalisasi karena semua dikembalikan kepada rakyat,” ujarnya.
Menurutnya problem kebebasan pers di Indonesia selalu terkait etika dan profesionalisme.