Medan (Berita Dewan Pers) - Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, menyatakan dalam sepuluh tahun terakhir ada titik terang dan titik gelap pers Indonesia. Praktik-praktik penyalahgunaan profesi wartawan dengan tujuan untuk memeras masih terjadi. Karena itu, peningkatan kualitas pers harus terus diperjuangkan mengingat jumlah pers yang sangat banyak.
Menurut Leo, penulis berita yang bertujuan untuk memeras atau berintensi kebencian (malice) dapat dipidana dengan pidana penjara. “Ada tikus bermain di lumbung kita (pers),” katanya dalam acara Forum Komunikasi Masyarakat Pers Daerah yang digelar Dewan Pers di Medan beberapa waktu lalu. Acara ini juga dihadiri anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi dan Bekti Nugroho.
Leo menegaskan, kalangan pers harus memaknai kemerdekaan pers sebagai anugerah bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan dengan cara menaati lima fungsi pers. Lima fungsi tersebut, yaitu informasi, edukasi, hiburan yang menambah kualitas hidup, kontrol sosial, dan fungsi sebagai lembaga ekonomi.
“Pers profesional diberi amanat untuk melakukan fungsi kontrol sosial agar para penyelenggara kekuasaan negara dapat dicegah dari tindakan koruptif,” ujar Leo.
Sedangkan Bekti Nugroho meminta wartawan untuk terus belajar. Sebab banyak yang tidak mengerti dampak media yang begitu besar. Jika wartawan tidak berhati-hati dan profesional dalam bekerja, gugatan dari masyarakat yang semakin cerdas dalam memahami media akan bertambah banyak.
Masyarakat, lanjut Bekti, harus diajak bersama-sama membentuk nilai-nilai kemerdekaan pers untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Nilai-nilai tersebut akan terus berkembang dan perlu didialogkan melalui ruang publik.
Sementara Abdullah Alamudi meminta penanggung jawab perusahaan pers untuk tidak lepas tangan apabila ada tuntutan dari masyarakat atau gugatan ke polisi. Sebab, UU No.40/1999 tentang Pers menganut sistem pertanggungjawaban korporasi.
Saat ini memang masih banyak aparat penegak hukum atau masyarakat yang belum memahami sistem pertanggungjawaban menurut UU Pers. Akibatnya, wartawan paling sering menjadi korban atau dituntut ke pengadilan. “Kewajiban kita untuk membuat mereka paham,” kata Alamudi.
Leo menambahkan, Dewan Pers selalu mengingatkan para penegak hukum untuk memedomani ketentuan di dalam UU Pers yang juga mengikat mereka. Tetapi, dalam praktiknya banyak yang memilih menggunakan KUHP atau KUHPerdata produk kolonial Belanda yang mengkriminalkan pers.
Menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Istana Negara, 25 Januari 2005, menegaskan kebijakannya mengenai penyelesaian masalah berita pers. Kebijakan itu, pertama, dengan menggunakan hak jawab. Kedua, mengadu ke Dewan Pers. Apabila masih belum berhasil diselesaikan, jalur hukum tidak tabu untuk ditempuh sepanjang adil, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Karena Kapolri dan Jaksa Agung adalah pembantu Bapak Presiden, mohon kiranya kebijakan penyelesaian masalah berita pers tersebut diteruskan kepada Kapolri dan Jaksa Agung,” kata Leo menceritakan permohonannya kepada Presiden SBY.