Apa bedanya mengurus wartawan dengan mengurus hakim? Boleh jadi menurut Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung yang sekarang menjabat Ketua Dewan Pers periode 2010-2013, tidak ada bedanya. Kalau dalam istilah gaul, ya, ”beda-beda tipis”-lah.
Selain lantaran keduanya sama-sama menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi, baik hakim sebagai representasi lembaga peradilan maupun jurnalis sebagai representasi pers, keduanya mensyaratkan adanya independensi serta kondisi bebas dari tekanan jika keduanya diharapkan harus bekerja maksimal.
Dalam sistem demokrasi, lembaga peradilan memang menjadi salah satu bagian dari tiga prinsip pembagian kekuasaan, trias politica. Namun, dalam sistem demokrasi pula pers kerap diposisikan sebagai pilar keempat, The Fourth Estate, yang diyakini menjadi syarat utama penunjang demokrasi.
Walau awalnya mengaku bersedia saja ketika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memintanya untuk didaftarkan sebagai bakal calon anggota Dewan Pers periode 2010-2013, mewakili unsur masyarakat, dirinya sejak awal mewanti-wanti tidak ingin malah menjadi beban ketika kelak sudah ada di dalam.
Namanya mulus terpilih sampai kemudian nyaris secara aklamasi ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pers pada rapat pertengahan Februari 2010. Mungkin karena di antara kesembilan anggota Dewan Pers dirinyalah yang paling senior, makanya dia diangkat sebagai ketua, begitu seloroh Bagir saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung Dewan Pers, awal pekan lalu.
Lantas, apa yang sejak awal membuatnya bersedia dicalonkan menjadi anggota Dewan Pers? Apa saja rencana serta fokus Dewan Pers ke depan? Atau, bagaimana dia melihat persoalan dan kondisi aktual seputar institusi pers dan kebebasan pers? Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana awalnya Anda bisa terlibat di Dewan Pers dan bahkan menjadi ketua?
Satu hari saya dihubungi AJI yang meminta saya masuk dalam bursa pemilihan calon anggota Dewan Pers periode 2010-2013. Saya katakan oke saja asal syaratnya saya tidak ingin malah nanti dianggap menjadi beban. Saya paham, tidak tahu banyak soal pers.
Setelah itu, yang saya tahu, saya dihubungi sudah lolos tahap seleksi dari 18 orang menjadi sembilan orang, sampai kemudian saya dipilih menjadi ketua. Mungkin karena saya juga yang paling tua di sini dari delapan anggota (Dewan Pers) yang lain.
Kalau tadi Anda bilang tidak tahu terlalu banyak soal pers dan khawatir menjadi beban, mengapa diteruskan?
Memang persentuhan saya dengan pers awalnya sebatas menjadi narasumber berita. Ada persentuhan yang enak, tapi ada juga yang tidak mengenakkan. Apalagi ketika sebelumnya saya beberapa kali dikritik dan diberitakan pers terindikasi terlibat ini dan itu.
Anda kerap dikritik dan diberitakan macam-macam....
Memang terkadang saya mengalami diberitakan tidak enak oleh pers. Namun, saya berprinsip, seperti juga dinasihatkan kepada saya oleh para tokoh besar bangsa ini melalui tulisan dan buku mereka, jangan sampai prinsip atau keyakinan tereduksi dan menjadi kacau-balau hanya karena kita mengalami sesuatu.
Prinsip saya, kebebasan pers adalah syarat mutlak demokrasi. Kalaupun ada pemberitaan dan kritik kepada saya, paling-paling saya coba untuk terus berpikir, semua itu karena sekarang ini kita masih baru menikmati kebebasan pers setelah sekian lama. Tentu masih ada banyak kekurangannya.
Saya tidak pernah berkeinginan mengatakan bahwa pers itu keji atau kebablasan karena saya dihantam pemberitaan ini dan itu. Saya tidak mau merusak prinsip dan keyakinan saya. Walaupun sedang bermasalah dengan pers, yang namanya prinsip tetap harus ditegakkan.
Saat masih menjabat Ketua MA, saya perintahkan kepada hakim-hakim agar ekstra berhati-hati saat memutus perkara yang berkaitan dengan pers. Pers itu instrumen demokrasi yang tidak boleh direduksi. Mereka harus benar-benar menjaga prinsip itu.
Bagaimana konkretnya?
Buat saya, pers punya tiga aturan hukum yang harus diterapkan sesuai urutannya ketika masyarakat punya persoalan dengan pers. Seperti juga profesi bebas lain, macam hakim, pers punya yang namanya Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Setelah itu, baru kemudian ada yang namanya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setelah itu, barulah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi, ketika ada pelanggaran oleh pers, coba dilihat dahulu, apakah hal itu masih bisa diselesaikan dengan mengacu pada KEJ?
Kalau tidak bisa, baru kita mengacu pada UU Pers. Barulah kalau pelanggaran itu tidak bisa diselesaikan dengan kedua aturan hukum tadi, aturan hukum pidana bisa digunakan.
Apakah artinya, ketika semua urutan tadi telah ditempuh, maka kriminalisasi pers dibolehkan?
Saat ini tren hukum dunia sekarang sudah mengarah pada konsep dekriminalisasi. Tidak lagi untuk mengkriminalisasikan. Hal itu berlaku dalam konteks apa saja. Artinya, bagaimana menyelesaikan perkara pidana dengan cara di luar pidana.
Seorang sarjana politik Amerika Serikat, Lesley Ribbons, dalam bukunya, The Great Issues of Politics, mendefinisikan keadilan sebagai kondisi di mana terdapat kepuasan dan harmoni sekaligus.
Dengan begitu, hukum pidana modern mencari cara menyelesaikan masalah pidana dengan cara-cara yang lebih manusiawi dan membangun harmoni di samping memberikan kepuasan. Apalagi diketahui selama ini ancaman hukuman berat tidak mampu menghilangkan tindak pidana. (Wisnu Dewabrata)
Harian Kompas, Senin, 8 Maret 2010