Jakarta (Berita Dewan Pers) - Anggota Dewan Pers, Margiono, menyatakan bahwa pemberlakuan Standar Kompetensi Wartawan merupakan bentuk respon pers terhadap keluhan masyarakat mengenai rendahnya kualitas sebagian wartawan.
“Ini bagian dari kesadaran pers untuk melakukan koreksi ke dalam,” kata Margiono saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI, Selasa (23/03/2010) pukul 21.00-22.00 WIB. Dialog yang dipandu Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, ini juga menghadirkan pengamat pers, Tjipta Lesmana, dan Sekretaris Tempo Media Group, Rustam F. Mandayun.
Kritik masyarakat terhadap pers, lanjut Margiono, terlihat dengan banyaknya komplain. Hal itu juga menunjukkan pers memiliki banyak kelemahan. “Gerakan untuk menerapkan Standar Kompetensi Wartawan bukan hanya untuk menjaga kemerdekaan pers, tetapi untuk menjaga eksistensi pers sendiri.”
Dalam beraktivitas, idealnya wartawan menginduk pada perusahaan pers dan organisasi profesi. Persoalannya sekarang, menurut Margiono, banyak orang mengaku wartawan namun tidak menginduk ke organisasi profesi dan menginduk ke perusahaan pers yang tidak memenuhi standar. “Tugas kita menjangkau wartawan yang demikian itu,” katanya.
Tjipta Lesmana menilai pentingnya standar kompetensi bagi sebuah profesi seperti wartawan. Sebab, setiap profesi membutuhkan pendidikan khusus selain harus memiliki organisasi profesi sendiri. Standar kompetensi bertambah penting karena Tjipta menjumpai di setiap daerah banyak muncul keluhan mengenai ketidakprofesionalan wartawan.
“Saya percaya masih banyak pers dan wartawan yang bagus. Namun yang membuat rusak itu banyaknya wartawan bodrek,” ungkap Tjipta.
Sementara Rustam menegaskan perlunya kebebasan pers dijaga oleh kalangan pers sendiri. Karena itu, ia melihat Standar Kompetensi Wartawan yang disahkan kalangan pers pada 27 Januari lalu menjadi bagian dari upaya menjaga kemerdekaan pers. Dalam Standar tersebut “etika ditempatkan di posisi tinggi,” jelas Rustam.