Jakarta (Berita Dewan Pers) - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengingatkan pers untuk berhati-hati saat membuat berita atau mencari informasi dari narasumber kasus tersebarnya video cabul mirip artis Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Pers harus menjaga diri sehingga tidak justru dianggap sebagai biang keladi dari persoalan video yang menghebohkan itu.
“Jangan sampai persoalan ini bergeser menjadi persoalan pers,” kata Bagir saat jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (25/6/2010). Ia didampingi Anggota Dewan Pers lainnya, Agus Sudibyo, Satria Naradha, dan M. Ridlo ‘Eisy.
Bagir meminta pers memperhatikan dengan serius pemberitaan terkait hak privasi karena hal itu dapat menjadi dasar untuk memperkarakan pers. Apalagi sejumlah media telah menampilkan berita yang mengesampingkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) karena memuat bagian atau potongan rekaman video cabul tersebut.
“Kita acap kali kehilangan kemerdekaan karena kita tidak bisa memeliharanya dengan baik,” ujar Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008 ini.
Agus Sudibyo berharap kalangan pers menyadari pemberitaan yang berlebihan terhadap video cabul bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengeluarkan produk kebijakan yang dapat mengancam kebebasan pers. Apalagi pemerintah mulai membahas kembali Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang sebelumnya ditolak keras oleh kalangan pers.
“Dewan Pers selalu ingin memastikan apapun pengaturan itu sejauh terkait ranah media harus kompatibel dengan kebebasan pers,” katanya.
Dalam jumpa pers ini Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Nomor 05/P-DP/VI/2010 tentang Pemberitaan dan Proses Peliputan Kasus Video Cabul Artis. Berikut Pernyataan Dewan Pers selengkapnya:
Sejak tersebarnya video cabul yang diduga dilakukan tiga artis yaitu Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari, media massa hingga saat ini masih terus memberitakannya. Para jurnalis juga terus berusaha keras untuk mendapatkan pernyataan langsung dari Ariel, Luna dan Cut Tari.
Sejumlah media massa menampilkan berita yang mengesampingkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) karena memuat bagian atau potongan rekaman video cabul tersebut. Beberapa media massa dalam mengupas kasus ini juga terlalu jauh mengeksploitasi aspek-aspek intimitas seksualitas dari video tersebut, tanpa mempertimbangkan bahwa kupasan atau tayangan itu dapat diakses oleh siapa saja dari segala umur. Media tidak memilah-milah benar antara urusan publik dan urusan privat sehingga pemberitaan media sedemikian rupa didominasi oleh hal-hal yang hanya layak didiskusikan dan dikupas di ruang privat.
Persoalan bertambah kompleks karena terjadi insiden ketika jurnalis dari berbagai media meliput proses pemeriksaan Ariel dan Luna Maya di Kepolisian. Seorang kameramen telah melaporkan Ariel ke polisi dengan tuduhan merusak kamera. Pada proses pemeriksaan 18 Juni 2010, juga terjadi insiden ketika seorang reporter terlindas mobil yang ditumpangi Ariel ketika hendak menjauh dari kerumunan wartawan.
Dari tayangan beberapa stasiun televisi dapat dilihat bahwa dalam proses peliputan itu, terjadi pelanggaran kode etik dan prinsip perlindungan privasi. Jurnalis dan kameramen beberapa media tampak melakukan tindakan mendorong, memegang bagian tubuh sumber berita, membenturkan kamera ke bagian tubuh, menghalangi narasumber untuk masuk ke mobil pribadi. Bahkan terjadi tindakan memaksa sumber berita untuk berbicara dan mengeluarkan kata makian ketika sumber berita tetap tidak mau berbicara. Bisa jadi, tindakan pemaksaan atau yang menjurus kepada kekerasan ini tidak sengaja dilakukan. Bisa jadi benar sebelumnya memang telah ada masalah pribadi antara Ariel-Luna Maya dengan beberapa kelompok jurnalis-kameramen. Namun kami tegaskan bahwa jurnalis Indonesia adalah jurnalis yang profesional, imparsial dan selalu mematuhi kode etik dalam segala situasi. Tidak ada kondisi apapun yang dapat digunakan sebagai pembenar akan terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik.
Dengan mempertimbangkan kepentingan publik dan martabat pers secara keseluruhan, Dewan Pers menyampaikan sikapnya sebagai berikut:
- Jurnalis Indonesia harus secara konsisten menegakkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik dalam segala situasi dan semua kasus, termasuk dalam memberitakan dan melakukan peliputan kasus video cabul yang dimaksudkan. Pemberitaan dan proses peliputan mutlak dilakukan dengan menghormati hak privasi dan pengalaman traumatik narasumber dengan cara bersikap menahan diri dan berhati-hati (Pasal 2 dan Pasal 9 KEJ). Semua pihak boleh berharap ketiga artis itu berbicara, tetapi semua pihak tidak mempunyai hak untuk memaksa mereka berbicara atau mengakui sesuatu yang bersifat privat, apalagi jika hal itu diharapkan dilakukan di ruang publik media.
- Para pemimpin redaksi media massa harus memeriksa benar kesiapan dan kelayakan reporter dan kameramen di lapangan, memastikan bahwa mereka secara komprehensif memahami kode etik jurnalistik dan sanggup menerapkannya dalam proses-proses peliputan. Pemimpin redaksi juga harus mengevaluasi atau menindak tegas jurnalis atau kameramen yang melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik di lapangan dan oleh karenanya menodai nama baik komunitas pers secara keseluruhan di hadapan sumber berita dan publik.
- Komunitas pers harus secara konsisten menempatkan ruang media sebagai ruang publik sosial untuk mendiskusikan hal-hal benar-benar yang penting, relevan atau urgen untuk kepentingan publik. Ruang publik media harus dihindarkan dari perbincangan atau perdebatan yang terlalu jauh memasuki ranah privat atau domain intimitas pribadi seseorang, tanpa memperhatikan relevansi untuk kepentingan publik.
- Komunitas pers harus memperhatikan benar bahwa pemberitaan media yang berlebihan terhadap kasus video-cabul ini dan penggunaan sudut pandang pemberitaan yang terlalu berorientasi pada segi-segi sensualitas dapat digunakan oleh beberapa pihak untuk membenarkan pendapat bahwa “kebebasan pers di Indonesia memang telah kebablasan” dan “dunia online media memang memerlukan pengaturan atau intervensi pemerintah yang ketat”. Persoalannya, pendapat yang demikian dapat digunakan sebagai pembenar untuk mengintrodusir produk-produk kebijakan yang sebagian atau seluruhnya mengancam pelembagaan kebebasan pers dan kebebasan informasi. Orientasi jangka pendek terhadap rating, jumlah pengakses atau oplah sudah seharusnya tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang yaitu iklim politik yang kondusif bagi kebebasan pers dan berekspresi.
- Media massa, terutama televisi, harus sangat memperhatikan kondisi pemirsanya terkait dampak tayangan mengenai video cabul ini. Karena media televisi adalah institusi sosial, maka publik berhak atas tayangan-tayangan televisi yang mengakomodasi kemajemukan nilai, kultur dan budaya bangsa Indonesia. Publik juga berhak atas tayangan televisi yang berkualitas, aman untuk anak-anak, remaja, tidak bias gender, mengakomodasi semangat pluralisme dan “ramah keluarga”. Dalam konteks tayangan video-cabul di atas, media harus berempati misalnya kepada para orang tua dan guru yang panik terhadap dampak video cabul itu kepada anak-anak mereka.
Jakarta, 25 Juni 2010
Dewan Pers
ttd
Bagir Manan
Ketua