Jakarta (Berita Dewan Pers) - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mendorong kalangan pers untuk bersama-sama membangun kehidupan pers yang sehat, bertanggung jawab, dan disiplin. Dengan begitu pers berfungsi baik bagi publik dan pers sendiri.
Di dalam perspektif hukum, ia menambahkan, ada self restriction atau self censorship. Artinya, mereka yang melaksanakan atau memiliki kekuatan hukum mengatur diri sendiri untuk menentukan apakah sesuatu layak dilakukan dan menjadi wilayahnya atau tidak.
Pendapat tersebut disampaikannya saat berbicara dalam diskusi “Mencari Posisi Jurnalistik Pers Elektronik dalam Hukum Pers” yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, akhir Juli lalu. Diskusi ini menghadirkan pembicara Wina Armada Sukardi (Anggota Dewan Pers), Yazirman Uyun (Anggota Komisi Penyiaran Indonesia), dan Riza Primadi (Pengamat media penyiaran).
Menurut Bagir Manan, berdemokrasi esensinya antara lain hak dan kebebasan untuk berbicara dan berbeda pendapat. Namun, yang sulit dalam demokrasi adalah kesabaran mendengar pendapat yang berbeda. “Padahal ini esensi yang penting. Tanpa kesabaran yang ada hanya kemarahan,” katanya.
Pendapat mantan Ketua Mahkamah Agung ini tidak terlepas dari persoalan posisi infotainment dalam jurnalisme yang sedang ramai diperdebatkan. “Perdebatan non faktual atau faktual mari kita susun bersama,” imbuhnya.
Karya Jurnalistik
Wina Armada Sukardi menjelaskan, setidaknya ada tiga prinsip yang membedakan antara karya jurnalistik dan bukan karya jurnalistik di media penyiaran, yaitu perbedaan dampak yuridis, dasar filosofis, dan hubunganya dengan negara. Karya jurnalistik, menurutnya, mensyaratkan adanya kepentingan umum di dalamnya serta berfungsi memantau dan mengkritik untuk kepentingan umum.
Terkait karya jurnalistik di media televisi, ia mengusulkan perumusan mengenai unsur apa saja yang ada dan diperlukan di dalamnya. “Perlu dipikirkan adanya peraturan operasional tentang hal ini sehingga dapat dihindari benturan hukum,” kata Wina.
Yazirman Uyun menyatakan, wartawan media penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan undang-undang, termasuk UU Penyiaran yang dijabarkan ke dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Menurutnya isi dan semangat P3SPS dan KEJ hampir sama. Namun, untuk menghindari agar tidak ada media ketika ditegur KPI berlindung ke Dewan Pers atau sebaliknya, maka perlu segera dibuat nota kesepahaman antara KPI dan Dewan Pers.
“Tugas KPI dan Dewan Pers sama-sama menjadikan karya jurnalistik bermanfaat bagi publik,” tegasnya.
Riza Primadi menilai, semangat UU Pers dan UU Penyiaran berbeda. UU Pers semangatnya melindungi kemerdekaan pers sedangkan UU Penyiaran mengatur media penyiaran, yang berarti ada pembatasan. “Karena itu secara filosofis tidak komplemen antara UU Pers dan UU Penyiaran,” ungkapnya.
Saat ini, ia melanjutkan, peraturan yang dibuat harus mulai mengantisipasi kecenderungan semakin buramnya batasan antara media cetak, televisi, dan online seiring perkembangan teknologi internet.