Kekerasan terhadap Wartawan Memprihatinkan

images

Dua kali dalam sebulan Dewan Pers menggelar acara bincang-bincang (talkhsow) melalui Kantor Berita Radio 68H, Jakarta. Acara ini disiarkan pula oleh puluhan radio jaringan 68H di seluruh Indonesia. Pada edisi 20 September 2010, didiskusikan persoalan kekerasan terhadap wartawan yang akhir-akhir ini marak terjadi. Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, memandu acara dengan menghadirkan pembicara Wakil Ketua Dewan Pers, Bambang Harymurti. Berikut ini transkrip beberapa bagian dari bincang-bincang tersebut.
Bagaimana kondisi kemerdekaan pers saat ini setelah 12 tahun era Reformasi?

Kalau dibandingkan dengan era Orde Baru, tentu sekarang lebih baik. Tetapi, bukan berarti bebas ancaman. Kelihatannya ada pergeseran ancaman. Kalau dulu yang paling ditakuti adalah pemerintah melalui Departemen Penerangan yang mempunyai hak untuk mencabut SIUPP atau membungkam siaran, sekarang ancaman dari non-pemerintah yang lebih banyak.

Kami bersedih di tahun ini sudah beberapa wartawan terbunuh walaupun belum pasti semuanya terkait dengan tugas pers. Ada wartawan terbunuh di Merauke, Kalimantan, Maluku, Sumatera Selatan. Juga ada wartawan yang dianiaya, misalnya di Solo. Tentu semua ini bentuk ancaman yang membuat kemerdekaan pers tercederai.

Apakah tahun ini kekerasan terhadap wartawan meningkat?

Sekarang ini belum genap setahun tapi wartawan yang meninggal sudah paling banyak dibanding tahun sebelumnya, termasuk yang dianiaya dengan serius. Tahun lalu ada satu wartawan dibunuh dan pelakunya sudah divonis oleh pengadilan di Bali. Sekarang, di Aceh ada wartawan dianiaya dan pelakunya disidang di mahkamah militer. Kita sedang menunggu hasil investigasi kasus kematian wartawan Merauke TV, Ardiansyah, di Merauke yang jenazahnya ditemukan mengambang di sungai, apakah itu kasus pembunuhan atau bunuh diri. Diduga kuat kasus itu disebabkan berita pembalakan liar karena sejumlah wartawan lain di Merauke juga mendapat ancaman.

Dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap wartawan, apakah peringkat kemerdekaan pers Indonesia akan turun tahun ini?

Jumlah poinnya mungkin turun. Tetapi, karena penganiayaan terhadap wartawan juga banyak terjadi di negara lain, secara peringkat belum tentu turun. Reporters Sans Frontieres tahun lalu menaruh peringkat kemerdekaan pers Indonesia di nomor 101 dari hampir 200 negara di dunia.

Apa yang dilakukan Dewan Pers untuk melindungi wartawan yang melakukan liputan atau investigasi kasus korupsi?

Kita sudah punya Standar Perlindungan Profesi Wartawan. Sebenarnya ini bukan hanya soal Dewan Pers karena pemerintah Indonesia juga termasuk salah satu penandatangan deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) tentang perlunya wartawan dilindungi dalam menjalankan tugasnya. Jadi, ini juga tugas negara bahkan tugas dunia. Tetapi, kadang-kadang undang-undang sudah bagus, peraturan sudah bagus, tetapi pada tahap pelaksanaan masih kedodoran di sana sini. Ini tugas bersama bagi yang mencintai kebebasan berpendapat dan kebebasan pers untuk terus berjuang.

Untuk melawan kekerasan atau ketidaktahuan orang tentang kemerdekaan pers, apakah ada program populis yang dapat membentuk nilai bersama bahwa wartawan memang tugasnya mengkritik?

Ini pekerjaan yang membutuhkan waktu. Sekarang memang masih ada birokrat yang disekap oleh sikap-sikap yang tidak demokratis sehingga kalau dikritik merasa sudah seperti kiamat. Padahal harus dilihat siapa pengkritiknya. Kalau kritiknya oleh wartawan tidak profesional, biasanya karya wartawan tidak profesional tidak banyak pengaruhnya di masyarakat.
Sebetulnya penguasa dan siapapun yang menjadi korban wartawan tidak profesional tidak perlu terlalu takut. Tetapi, sebaliknya, kalau untuk wartawan profesional seharusnya diberi informasi sebanyak mungkin agar pekerjaannya semakin bermutu.

Kalau kesalahan yang dikritik itu dapat dijelaskan dengan baik, saya kira masyarakat juga akan menilai kritik itu dengan proporsional karena manusia memang tidak ada yang bebas dari kesalahan. Yang membedakan pemimpin yang baik dan tidak baik adalah pemimpin yang baik kalau membuat kesalahan segera mengakui dan bila perlu minta maaf dan memperbaiki kesalahannya. Sama dengan wartawan. Wartawan yang baik bukan berarti tidak pernah salah tetapi apabila dia tahu ada kesalahan segera mengoreksi, memberi tahu kepada pembacanya karena itu kontrak profesinya, kalau perlu minta maaf.

Ini adalah salah satu sikap demokratis yang diperlukan tidak hanya oleh wartawan tetapi juga pemangku kekuasaan, dan karena rakyat kita tidak bodoh. Saya beri contoh: sejak masa reformasi sudah lebih dua ribu media yang dibredel oleh masyarakat karena dianggap tidak profesional dan tidak didukung. Dua ribuan ini jauh lebih besar daripada yang dibredel di masa Orde Baru.

Apakah negara telah lalai untuk melindungi pekerja pers?

Ada unsur itu walaupun tidak seratus persen negara bisa disalahkan. Misalnya meninggalnya wartawan Ridwan Salamun di Tual karena dia kebetulan tinggal di tempat warga yang sedang konflik. Tetapi, tetap harus ada kampanye yang tinggi bahwa wartawan bukan bagian dari konflik dan seharusnya tidak menjadi sasaran kekerasan.

Kalau ada yang merasa dirugikan wartawan, dia bisa mengadu ke Dewan Pers, majelis etik organisasi pers atau langsung ke medianya. Dan itu terbukti efektif. Dari dua ribuan pengaduan yang diterima Dewan Pers, lebih dari 97 persen dapat diselesaikan dengan saling menang atau win win solution. Hanya 3 persen yang tidak puas dan melanjutkan ke pengadilan misalnya. Biasanya yang tidak puas itu karena merasa berkuasa, entah karena jabatannya, uangnya atau pengaruh massanya.

Data ini juga menunjukkan bahwa di belakang pelaku kekerasan ada kejahatan yang lebih besar yang terganggu oleh tugas wartawan. Wartawan memang tugasnya membongkar kalau ada yang dianggap berbau kejahatan dan mengganggu kepentingan umum.
Dewan Pers berkampanye kepada kalangan pejabat dan lainnya yang belum terbiasa hidup di alam demokrasi bahwa ada mekanisme untuk memperbaiki atau memulihkan yang mungkin sempat rusak oleh berita pers yang dianggap keliru.

Kalau kita keliling dunia ke negara-negara yang persnya bebas, di sana pers yang sukses secara bisnis maupun pengaruh adalah pers yang hati-hati, berimbang, profesional, bukan pers “paha dan dada”, bukan pers propaganda. Itu menunjukkan konsumen pers bukan orang bodoh. Kita yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik, akan percaya bahwa orang banyak secara bersama-sama jauh lebih bijak atau pintar daripada seorang diktator meskipun dia profesor.

Ada buku “The Wisdom of Crowds” yang ditulis James Surowiecki. Ia membuktikan kalau orang banyak diberikan kebebasan untuk berpendapat secara independen tentang hal apapun, kesimpulan mereka jauh lebih tepat dari pakar manapun. Ini menunjukkan adanya kebijakan orang ramai—selama syaratnya terpenuhi yaitu mereka bebas berpendapat dan independen. Dan itulah intisari mengapa kebebasan pers dianggap oksigen bagi kehidupan demokrasi. (sam)

By Administrator| 26 Oktober 2010 | berita |