Jakarta (Berita Dewan Pers) - Anggota Dewan Pers, Zulfiani Lubis, menyatakan kriminalisasi masih mengancam para wartawan di Indonesia. Kasus terakhir dialami mantan Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia, Erwin Arnada, yang divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
“Ini adalah momentum yang baik untuk mengingatkan kalangan pers bahwa kriminalisasi itu ada dan nyata, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah,” katanya saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, akhir Oktober lalu. Acara yang dipandu Wina Armada Sukardi ini juga menghadirkan Umar Farouk (Ketua Gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera), Hazairin Sitepu (Ketua Dewan Pengawas TVRI), dan Margiono (Ketua Umum PWI Pusat).
“Ini adalah momentum yang baik untuk mengingatkan kalangan pers bahwa kriminalisasi itu ada dan nyata, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah,” katanya saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, akhir Oktober lalu. Acara yang dipandu Wina Armada Sukardi ini juga menghadirkan Umar Farouk (Ketua Gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera), Hazairin Sitepu (Ketua Dewan Pengawas TVRI), dan Margiono (Ketua Umum PWI Pusat).
Zulfiani Lubis, yang akrab dipanggil Uni menambahkan, Dewan Pers menangani kasus Playboy Indonesia tahun 2006. Saat itu, setelah memeriksa isinya, Dewan Pers menilai Playboy Indonesia adalah produk pers yang terikat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
“Dewan Pers tidak semata-mata melakukan pembelaan buta (kepada Playboy Indonesia). Dewan Pers juga menyatakan Playboy Indonesia menyalahi distribusi sesuai segmentasinya,” tegas Uni.
Selain kriminalisasi, Uni melanjutkan, wartawan juga terancam oleh kekerasan. Misalnya, wartawan SUN TV di Maluku Tenggara, Ridwan Salamun, tewas saat meliput konflik antarwarga. “Kami juga ingin menyatakan kepada semua pihak bahwa kebebasan pers di Indonesia ada tetapi masih ada ancaman,” ungkapnya.
Menurutnya, kalangan pers juga melakukan refleksi untuk memperbaiki diri. Dewan Pers terus menerus melakukan upaya untuk meningkatkan profesionalisme pers dan mengadvokasi wartawan yang mengalami kriminalisasi atau kekerasan.
Sementara itu, Umar Farouk menilai wajar apabila ada masyarakat tidak setuju dengan Playboy Indonesia kemudian menggugat ke pengadilan. Apalagi menurutnya, kalau dicermati isinya, Playboy Indonesia sudah melanggar UU Pornografi.
“Masyarakat juga harus diberi peluang untuk menyatakan Playboy itu pers atau bukan,” katanya.
Margiono menyatakan, Dewan Pers telah menetapkan Playboy Indonesia sebagai produk pers. Karena itu, pemidanaan terhadap Erwin Arnada (Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia) harus ditentang karena tidak sesuai dengan pemikiran tersebut.
Meskipun demikian, menurutnya, wartawan harus berhati-hati dan peka terhadap nilai-nilai sosial di masyarakat. Jangan karena merasa karya jurnalistik tidak bisa dipidana kemudian wartawan berbuat sesukanya.
Ia menambahkan, ada risiko yang harus dihadapi wartawan karena melakukan fungsi kontrol sosial. Fungsi itu dekat sekali dengan tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. “Sepanjang wartawan berpegang pada UU Pers dan kode etik maka tidak ada problem,” katanya.
Kesalahan wartawan biasanya karena tidak siap saat terjun ke lapangan. Karena itu, Margiono menegaskan, program mendasar yang harus dilakukan yaitu pelatihan jurnalistik. Tanpa itu kualitas jurnalistik bisa turun dan muncul ancaman besar pada wartawan.