Peringkat Kemerdekaan Pers Indonesia Turun

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) - Reporters Sans Frontières (RSF) atau disebut juga Reporters Without Borders pada 20 Oktober 2010 mengeluarkan hasil riset tentang kemerdekaan pers di 178 negara tahun 2010. Indonesia, menurut lembaga non-pemerintah yang bermarkas di Paris, Perancis, itu menempati posisi 117. Artinya, melorot 16 tingkat dibanding tahun lalu di peringkat 101.
Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menilai melorotnya peringkat kemerdekaan pers Indonesia menggambarkan kondisi pers belakangan ini. Terjadi kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan. Pers juga banyak yang tidak independen.

“Tidak hanya RSF tetapi Freedom House (lembaga penelitian di Amerika) juga memberi nilai sama,” kata Atma saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, akhir Oktober lalu. Dialog ini juga menghadirkan Todung Mulya Lubis (pengacara/aktivis HAM), Asro Kamal Rokan (Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional), dan Wina Armada Sukardi sebagai pembawa acara.

Atma menjelaskan, pemeringkatan yang dilakukan RSF tidak hanya mempertimbangkan apakah pers di negara bersangkutan bebas meliput, tetapi juga soal independensi pers dan kebebasan ekspresi. Kasus Prita Mulyasari termasuk bagian dari kebebasan ekspresi.

Ia menambahkan, independensi pers Indonesia masih menjadi masalah serius, terutama di daerah. Banyak pers di daerah tidak independen karena sangat bergantung pada subsidi pemerintah daerah. “Pers di daerah rata-rata sangat tergantung pada subsidi dari pemerintah daerah,” katanya.

Mutu jurnalistik, Atma menyarankan, harus terus ditingkatkan. Pejabat negara harus menghargai kemerdekaan pers dengan memberi informasi kepada wartawan. Perundangan dan hukum harus terus diperbaiki karena masih banyak yang bisa membatasi kebebasan pers atau memenjarakan wartawan karena melaksanakan kebebasan pers dan kebebasan ekspresi.

“Media yang buruk dengan wartawan yang buruk tidak akan bertahan. Publik yang pada akhirnya menentukan,” imbuhnya.

Todung Mulya Lubis sependapat dengan Atma bahwa peringkat kemerdekaan pers Indonesia menggambarkan kondisi yang ada, seperti kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan. Selain itu, ada tekanan dari pemodal dan kalangan fundamentalis atau antiperubahan yang menghambat pers.

“Selama sikap penegak hukum tidak sejalan dengan kemerdekana pers, pada saat itu peluang yang mengancam kemerdekaan pers akan tetap muncul,” katanya.

Ia menambahkan “Saya tidak membantah kualitas pejabat kita yang tidak layak menjabat. Tapi jangan juga kita menganggap semua wartawan kita layak menjadi wartawan. Banyak wartawan yang tidak layak (jadi wartawan).”

Asro Kamal Rokan berpendapat, pers Indonesia tidak hanya berhadapan dengan negara. Tekanan pemilik modal serta masyarakat yang suka melakukan kekerasan juga ancaman terhadap kemerdekaan pers. “Ini bukan lagi tekanan negara tapi pemilik modal,” katanya.

Menurutnya, penting sekali pendidikan untuk wartawan yang terutama harus dilakukan oleh perusahaan pers.

By Administrator| 16 November 2010 | berita |