UU Pers No 40/1999 mengamanatkan kepada Dewan Pers untuk menjaga kemerdekaan Pers dan menegakkan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia. Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, Dewan Pers menyampaikan catatan akhir tahun 2010, sebagai berikut:
Pers dan Reformasi
Salah satu hal yang perlu disyukuri, reformasi telah memberi jalan bagi pulihnya kemerdekaan pers di Indonesia yang bertahun-tahun direnggut oleh sistem kekuasaan otoritarian yang tidak memberi tempat yang layak bagi hak asasi manusia. Namun perlu disadari perjalanan mewujudkan kemerdekaan pers sehingga benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan bermasyarakat berbangsa dan bernegara membutuhkan waktu yang panjang dan dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan terhadap kemerdekaan pers dapat datang dari pemegang kekuasaan yang masih enggan menerima kemerdekaan pers sebagai suatu kepastian yang tak terelakkan dalam sistem demokrasi. Tantangan terhadap kemerdekaan pers juga datang dari masyarakat, baik sebagai sisa dari sikap-sikap feudal, anti kritik dan tidak siap menghadapi perbedaan, maupun oleh sifat-sifat profiteer lainnya. Kebebasan pers dirasakan sebagai usikan terhadap kenyamanan berada di puncak kekuasaan. Namun perlu disadari, ancaman kemerdekaan pers dapat datang dari pers sendiri. Yakni ketika kemerdekaan pers diperlakukan seakan-akan sebagai hak atau keistimewaan tanpa harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab dan disiplin. Suatu kemerdekaan atau kebebasan tanpa tanggung jawab dan disiplin dapat bermuara pada anarki yang bahkan akan meredupkan atau merampas kemerdekaan atau kebebasan itu sendiri.
Peringkat Kebebasan Pers dan Kekerasan Media
Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Sebagai hak, kemerdekaan pers bukan hanya instrumen untuk mencapai sesuatu, tetapi sekaligus sebagai hak asasi itu sendiri. Hak atas kebebasan pers dan berekspresi (the right of expression) selain sebagai hak setiap orang tetapi secara inheren melekat pada pers itu sendiri. Pers juga merupakan sarana mewujudkan sistem konstitusi dan negara hukum. Pers yang merdeka merupakan sarana kendali agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan sebagai sarana agar kekuasaan terhindar dari kegagalan mengemban amanat dan aspirasi masyarakat. Salah satu tolok ukur demokratisasi di suatu negara adalah pelembagaan dan penguatan kemerdekaan pers. Dalam konteks ini, Dewan Pers mengajak semua unsur pemerintahan dan masyarakat agar mempertimbangkan benar realitas pelembagaan kemerderkaan pers di Indonesia dewasa ini. Meskipun kemerdekaan pers di Indonesia—mengacu penelitian Hooman Peimani, konsultan dan peneliti dari The Geneva for the Democratic Control of Armed Force (DCAF), Swiss—adalah yang terbaik di antara negara-negara ASEAN, namun peringkat pelaksanaan kemerdekaan pers Indonesia di tingkat dunia terus menurun dari tahun ke tahun. Hasil penelitian Reporters Without Borders (RSF) tahun 2009 menempatkan Indonesia pada posisi 101 dari 175 negara di dunia. Kemerdekaan pers di Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan negara-negara demokratis di dunia pada umumnya.
Salah satu penyebab menurunnya peringkat kemerdekaan pers Indonesia di dunia adalah tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis atau media. Dewan Pers mencatat sepanjang tahun 2010, terjadi 25 kasus kekerasan terhadap media, dalam berbagai bentuk: intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan liputan, perusakan kantor media, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku kekerasan juga beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu. Terlepas siapa pun pelaku kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan di berbagai tempat merupakan ancaman nyata dan serius bagi kemerdekaan pers. Yang juga mengancam kemerdekaan pers adalah praktek kriminalisasi pers, sebagaimana terjadi kepada Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi majalah Playboy Indonesia. Mahkamah Agung memutuskan vonis pidana penjara dua tahun untuk Erwin Armada dengan dakwaan menyebarluaskan materi tindak asusila. Dewan Pers menilai produk majalah Playboy Indonesia adalah produk pers yang harus diadili dengan UU Pers. Sementara Mahkamah Agung menjatuhkan vonis tersebut tidak berdasarkan UU Pers.
Keselamatan wartawan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Dalam konteks ini, Dewan Pers mengingatkan kewajiban negara, dalam hal ini Pemerintah, dalam melindungi prinsip kemerdekaan pers, mencakup kewajiban melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesi, menegakkan keadilan dan kebenaran dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi, serta menghindari segala bentuk pemidanaan pers. Sebagai pemerintahan yang demokratis dan menjunjung supremasi hukum, sudah semestinya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap berbagai gejala kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan dan media yang meningkat akhir-akhir ini. Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam mewujudkan hak-hak publik atas informasi.
Dewan Pers juga meminta dengan sangat Presiden Republik Indonesia untuk lebih memberikan perhatian terhadap masalah tersebut. Negara mempunyai kewajiban sekaligus kepentingan memastikan tegaknya prinsip-prinsip kemerdekaan pers dan sekaligus melindungi keselamatan wartawan dari berbagai bentuk kekerasan dan pemaksaan yang melawan hukum. Ketegasan pemerintah atau penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap media mutlak dibutuhkan agar memberi pembelajaran kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dan main hakim sendiri terhadap pers tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum. Pengalaman Dewan Pers menunjukkan, ketidaktegasan dlaam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap media mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media.
Namun Dewan Pers juga mencatat, dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap media diawali oleh tindakan atau perilaku jurnalis yang melanggar prinsip profesionalisme dan kode etik jurnalistik. Kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional wartawan sendiri, seperti: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap sumber berita. Perlu perbaikan kualitas pemahaman dan praktek kode etik jurnalistik, rasa tanggung jawab dan disiplin profesi di kalangan jurnalis melalui proses-proses sosialisasi dan pelatihan jurnalistik.
Dalam konteks yang sama, kekerasan terhadap media juga harus menjadi tanggung jawab perusahaan media. Media harus membekali jurnalis dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme dan tidak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan. Tidak dapat disangkal persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi. Bahkan terkadang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Karena itu media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.
Hubungan Antara Pemerintah dan Pers
Selain masalah kekerasan terhadap media, Dewan Pers perlu juga memberikan catatan tentang realitas hubungan antara pemerintah dan pers yang belakangan ini ditandai dengan antagonisme yang perlu direnungkan. Di satu sisi, sulit dipungkiri sebagian media kita memang mengembangkan pemberitaan yang terlalu berorientasi kepada dimensi konflik, skandal dan kontroversi sedemikian rupa sehingga terkesan hanya sibuk menyoroti kelemahan-kelemahan pemerintah, tanpa apresiasi yang layak terhadap capaian kerja pemerintah, betapapun sedikit capaian itu. Di sisi lain, kita menghadapi pemerintah yang sepertinya tidak tahu bagaimana mengambil manfaat dari praktek kebebasan pers. Pemerintah yang tidak dapat mengidentifikasi kontribusi positif pers bagi pencapaian agenda pemerintah sendiri, seperti: reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan lain-lain.
Antagonisme inilah yang mengemuka ketika beberapa waktu lalu, Presiden menyatakan media telah mengadu-domba dirinya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam kontroversi status monarki politik Yogyakarta. Tak lama berselang, Presiden juga menegaskan serangan media yang keras dan sistematik adalah salah-satu penyebab turunnya kepercayaan publik terhadap penegak hukum. Benarkah media telah mengadu-domba presiden dan menyerang penegak hukum?
Mungkin ada benarnya. Dorongan mengomodifikasi perbedaan pendapat, memberitakan sisi menghakimi pihak tertentu. Namun media yang mana yang dimaksudkan? Apakah Presiden merujuk kepada semua media atau media tertentu saja? Masalah ini harus jelas. Jangan sampai yang berkembang kemudian adalah sikap apriori sebagian media terhadap presiden dan penegak hukum, demikian pula sebaliknya sikap apriori presiden terhadap semua media!
Kritik terhadap pers adalah sebuah kewajaran. Media dapat berbuat kesalahan dan semua pihak berhak menyampaikan koreksi. Namun sesuai dengan asas demokrasi, setiap kritik dan perbedaan harus dinyatakan secara spesifik sebagai wujud akuntabilitas dan responsibilitas. Kritik terhadap pers harus secara spesifik menunjuk kepada jenis kesalahan dan media tertentu. Kritik adalah upaya koreksi dan perbaikan, bukan sekedar kritik demi kritik. harus jelas kesalahan yang disangkakan kepada media: salah mengutip sumber berita, data tidak akurat, liputan tidak seimbang, bahasa yang tendensius atau pencampuran fakta dan opini? Harus jelas pula media yang dimaksudkan. Dalam konteks ini Dewan Pers menegaskan, kritik terhadap pers yang diajukan pemerintah atau pihak manapun, harus disampaikan secara spesifik dengan menyebutkan media dan beritanya secara langsung. Seyogyanya pemerintah tidak melakukan generalisasi dalam menyampaikan kritik terhadap media. Jika dapat menunjukkan media dan kesalahannya secara spesifik, Pemerintah memberikan kontribusi positif bagi penegakan etika jurnalistik. Apalagi jika sudi menggunakan hak jawab, Pemerintah memberikan tauladan bagaimana idealnya sengketa pemberitaan diselesaikan.
Fungsi utama pers dalam rezim demokratik adalah menjalankan kritik terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Kritik adalah salah satu asas hakiki pers yang merdeka. Dalam konteks ini, wajar jika pemerintah menjadi sasaran kritik pers karena selama ini penyelenggaraan pemerintahan memang mengandung berbagai kelemahan. Dengan kondisi seperti ini, sulit mengharapkan pemberitaan tanpa kritik dari pers. Meskipun demikian, pemerintah mempunyai hak untuk menuntut pemberitaan yang tidak proporsional, seimbang dan etis. Pemerintah dapat memaksimalkan UU Pers untuk menuntut agar dalam pemberitaan, pers secara konsisten menegakkan etika jurnalistik dan keutamaan ruang publik media. Pemerintah dapat memaksimalkan hak jawab, hak koreksi serta proses penegakan kode etik melalui Dewan Pers sebagaimana dijamin dalam UU Pers No 40 1999.
Dewan Pers menyerukan, cara yang paling baik menghindari sikap saling apriori adalah baik pers maupun pemerintah harus selalu meletakkan pada posisi paling depan komitmen mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara. Perbedaan penilaian sebagai wujud hak berbeda pendapat adalah upaya menemukan sesuatu yang lebih tepat dalam mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mencapai sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, baik pers maupun pemerintah harus sama-sama mengikatkan diri bahwa hubungan antara pers dengan pemerintah adalah sebuah kemitraan untuk saling mengingatkan untuk menghindari kesalahan dan ketersesatan yang tidak akan memberi keuntungan pada rakyat banyak.
Dalam konteks yang sama, Dewan Pers menegaskan bahwa fungsi Dewan Pers bukanlah menjadi pembela media. Tugas Dewan Pers adalah menegakkan kode etik jurnalistik dan melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tidak pernah ragu menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pers seandainya ada media yang melanggar kode etik jurnalistik. Antara Februari hingga November 2010, Dewan Pers menerima 421 pengaduan, terdiri atas 117 pengaduan langsung dan 304 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terutama pengaduan langsung, sebanyak 38 kasus berhasil diselesaikan melalui mediasi oleh Dewan Pers, di Jakarta atau di daerah. Sisanya diselesaikan melalui surat atau komunikasi langsung dengan pihak terkait. Di luar itu, Dewan Pers juga menangani beberapa kasus etika pers tanpa adanya pengaduan dari masyarakat. Hasil mediasi dan penanganan kasus yang dilakukan Dewan adalah keputusan atau rekomendasi yang 80 persen menyatakan media atau jurnalis melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik dalam berbagai bentuk. Adapun sanksi yang dijatuhkan Dewan Pers untuk pelanggaran kode etik adalah pemuatan hak jawab, pemuatan hak jawab disertai dengan permintaan maaf, dan keharusan mengikuti pelatihan jurnalistik untuk jurnalis atau redaktur yang melakukan pelanggaran kode etik. Dan dari jumlah itu, 95 persen ditaati oleh media atau jurnalis bersangkutan. Hanya sedikit media yang tidak mau menaati keputusan atau rekomendasi Dewan Pers.
Banyaknya pengaduan ke Dewan Pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers, dan bukan melalui jalur hukum. Kedua, banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakan kode etik jurnalistik. Banyak pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.
Pelembagaan Kemerdekaan Pers
Dalam rangka menjaga kontinuitas pelembagaan kemerdekaan pers, Dewan Pers saat ini sedang berada dalam tahap final perumusan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). MOU bertujuan untuk menyamakan persepsi Dewan Pers dan Polri terkait dengan kasus-kasus sengketa pemberitaan atau Kode Etik Jurnalistik. Hasil pembicaraan antara Dewan Pers dan Polri sejauh ini menyepakati bahwa Polri akan memberikan kesempatan kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemberitaan atau kode etik jurnalistik, tanpa terkecuali jika kasus-kasus tersebut telah dilaporkan ke Polri. Polri juga akan memberikan kesempatan kepada Dewan Pers untuk menjadi saksi ahli jika kasus-kasus sengketa pemberitaan dan kode etik jurnalistik berlanjut hingga ke jalur hukum.
Dewan Pers juga akan berusaha mencegah lahirnya regulasi yang sebagian atau seluruhnya bersifat anti-kebebasan pers. Dewan Pers memerhatikan dan mengikuti dengan seksama pembahasan Rancangan Undang-Undang Intelijen dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara untuk memastikan agar undang-undang tersebut tidak justru membelenggu kemerdekaan pers, kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat. Dewan Pers tidak anti terhadap UU Intelijen dan UU Rahasia Negara, namun menuntut agar keberadaan kedua undang-undang ini dirumuskan dan ditetapkan dalam kuadran demokrasi dan tidak sebaliknya, bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, good governance dan kebebasan pers. Dalam konteks yang sama, Dewan Pers menganggap gagasan untuk merevisi Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers belum mendesak. Pertama, undang-undang tersebut sampai saat ini sudah cukup baik sebagai pedoman pelaksanaan kemerdekaan pers. Kedua, dengan bertolak dari realitas politik di berbagai sektor yang berkembang saat ini, tidak ada kepastian bahwa amandemen UU Pers akan menghasilkan undang-undang yang lebih baik dalam melembagakan kemerdekaan pers dibandingkan UU Pers yang ada saat ini.
Seruan Kepada Pers
- Kemerdekaan pers bukan sekedar kemerdekaan demi kemerdekaan (freedom for the sake of freedom), melainkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari cita-cita luhur demokrasi yang menempatkan setiap insan baik sebagai pejabat atau rakyat biasa sebagai makhluk yang bermartabat dan mulia yang harus senantiasa dihormati dan dihargai.
- Kemerdekaan pers Indonesia sesuai dengan perjalanan sejarahnya adalah bagian yang tidak terpisahkan menuju terwujudnya tujuan kemerdekaan (berbangsa dan bernegara), mencapai kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sebesar-besarnya kemakmuran untuk seluruh rakyat atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Kemerdekaan pers harus senantiasa disertai tanggung jawab dan disiplin, penghormatan terhadap hukum dan kode etik, terus menerus meningkatkan kualitas dan integritas, dituntun hati nurani yang benar dan adil.
Jakarta, 29 Desember 2010
Bagir Manan
Ketua Dewan Pers