Jakarta (Berita Dewan Pers) - Wakil Ketua Dewan Pers, Bambang Harymurti menyatakan, masyarakat mampu menyaring sendiri informasi untuk mengetahui informasi itu benar atau bohong. “Kemampuan masyarakat untuk menyaring sendiri informasi jangan dianggap remeh,” katanya saat menjadi narasumber dialog Dewan Pers Kita yang disiarkan TVRI Nasional, Jakarta, Selasa (22/3), pukul 22.00-23.00 WIB.
Ia menambahkan, orang yang reaktif dengan berita yang dianggap merugikan dirinya terkadang karena ia memandang masyarakat bodoh dan begitu saja percaya dengan berita media.
Dalam kasus pemberitaan media Australia, The Age, yang bersumber dari Wikileaks tentang dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurutnya, sebenarnya cukup Kedutaan Indonesia di Australia yang membantahnya.
Tujuan The Age mengungkap informasi itu, lanjutnya, bukan untuk memojokkan pemerintah Indonesia tetapi mengkritisi pemerintahnya sendiri dalam kaitan hubungan dengan Indonesia. “Kalau dilihat dalam konteks pemberitaan di Australia, itu wajar, dan lebih pada kritik kepada pemerintah Australia,” katanya.
Menurut Bambang, kawat diplomatik yang dibocorkan Wikileaks dan dikutip The Age sudah lama ada dan hanya berisi informasi awal. Itu merupakan rahasia Amerika yang terbongkar. “Tugas media seharusnya mendalami informasi-informasi awal seperti yang diungkap dalam kawat diplomatik,” kata mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini.
Wartawan senior harian The Jakarta Post, Sabam Siagian, yang turut hadir sebagai narasumber menyatakan, kehadiran Wikileaks telah menggoyang sistem informasi. Wikileaks adalah reaksi dari sikap pemerintah negara-negara di dunia yang cenderung menutup-nutupi informasi tentang kebijakannya dan membohongi rakyat. Pesan dari Wikileaks kepada penguasa adalah “jangan coba merahasiakan informasi yang tidak perlu dirahasiakan.” Kehadiran Wikileaks yang demikian itu menjadi tantangan bagi pers. “Pers terpaksa bekerja lebih keras lagi,” katanya.
Pembicara lainnya, wartawan senior harian Kompas, Budiarto Shambazy berpendapat, pembocoran kawat diplomatik yang dilakukan Wikileaks tidak mengubah politik internasional, tetapi politik regional. Indonesia termasuk cukup terguncang. Namun, menurutnya, belum tentu hubungan Indonesia dengan Amerika terganggu hanya karena Wikileaks.
Ia mengakui, kehadiran Wikileaks—dan juga jaringan sosial media—menjadi pesaing bagi pers. Revolusi yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah diawali oleh sosial media, bukan media arus utama. Saat ini, masih muncul pro kontra tentang apakah jaringan sosial media bisa diandalkan sebagai jurnalisme yang dapat mengubah kondisi negara.
“Saya sebagai wartawan sudah merasa tersaingi dengan Wikileaks dan sosial media,” kata Budiarto.
Ia menambahkan, peran pers Indonesia saat ini sudah diakui banyak orang dan disebandingkan dengan pers di Jepang.