Malang – Publik membutuhkan produk jurnalistik berkualitas. Oleh karenanya, dibutuhkan kontrol sosial dari publik kepada media dan para jurnalis. Hal ini bahkan tercantum dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 17, yang menyebutkan masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Demi menjamin itu, pemantau media diharapkan memiliki kompetensi mumpuni sehingga kontrol sosial mampu berjalan dengan baik.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik Pemantauan Media dan Jurnalisme Berkualitas yang digelar Dewan Pers di Hotel Harris Malang, Jawa Timur, Jumat (13/10/2023).
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Atmojo Sapto Anggoro, menyebut pemantau media muncul sebagai suatu lembaga independen yang melakukan pemantauan terhadap pemberitaan media massa, baik dari sisi cara wartawan/perusahaan pers memperoleh atau mencari informasi maupun dalam isi pemberitaan.
“Kontrol atas kemerdekaan pers bukan dari pemerintah melainkan dari masyarakat itu sendiri,” tutur Sapto saat membuka diskusi.
Pemantau media merupakan bagian dari pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembangunan, khususnya menegakkan kemerdekaan pers menuju kehidupan masyarakat yang demokratis. Pemantau media berfungsi sebagai lembaga alternatif yang dibangun masyarakat yang secara tidak langsung menguatkan peran pengawasan dari lembaga pengawas.
“Umumnya, pemantau media merupakan organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan lembaga riset,” kata Sapto menambahkan.
Pemantau media memiliki lima peran. Pertama, mengkaji pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh media. Kedua, mengamati pelaksanaan tugas dan fungsi media sebagaimana dimandatkan oleh UU Pers. Ketiga, mencermati perilaku media yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Keempat, memberdayakan masyarakat untuk mengakses hak atas informasi dan hak untuk mengetahui informasi yang benar dan valid. Kelima, menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers, Asmono Wikan menambahkan, lembaga pemantau media yang ada saat ini pun sangat minim aktivitasnya. Terdapat beberapa hal yang diduga merupakan penyebab dari fenomena ini, yaitu kebutuhan logistik finansial yang cukup besar, sulitnya menjaga konsistensi program pemantauan media, minimnya mitra media yang dapat dipantau, minimnya minat SDM peneliti pemantauan media, dan memantau media bukanlah kegiatan yang menarik bagi praktisi komunikasi.
“Padahal isu tentang pers bisa berkembang jika masyarakat ikut bergerak memantau,” katanya.
Diskusi yang digelar dengan para awak media, konstituten Dewan Pers, dan akademisi itu berlangsung dengan dinamis. Berbagai masukan dari para peserta kemudian dituangkan dalam 16 poin kesimpulan, yang merupakan lanjutan dari diskusi serupa yang digelar di kota-kota sebelumnya.