Malang, 12 Oktober 2023 – Pers harus mampu bersikap kritis, menyuarakan nasib orang-orang kecil, bukan hanya kalangan tertentu. Pers juga harus bebas dari campur tangan penguasa maupun para pemiliknya.
Demikian pandangan tiga mahasiswa Universitas Brawijaya yang mewakili generasi zilenial pada speech panel mahasiswa bertema “Zilenial Memandang Kemerdekaan Pers dan Jurnalisme Indonesia Masa Depan dalam Perspektif Kritis”, yang digelar di kampus FISIP Universitas Brawijaya Malang, Kamis (12/10/2023), sebagai rangkaian acara “Dewan Pers Sambang Kampus”..
“Saat Orde Baru, pers dikuasai pemerintah. Kini, pers dibatasi oleh pemiliknya. Padahal pers harus kritis agar penguasa tidak semena-mena,” kata Gratio yang menjadi pembicara pertama.
Sementara pembicara kedua, Haldi, menyoroti masalah kemerdekaan pers di Indonesia. Ia bahkan mempertanyakan, apakah kemerdekaan pers saat ini sudah kebablasan dan bagaimana tiap-tiap orang memaknainya.
“Apakah kita merindukan SIUPP? Bergeserkah jurnalisme saat ini menjadi siapa cepat dia benar? Apalagi masyarakat juga malas memverifikasi informasi,” tuturnya.
Di era digital, pers juga harus berhadapan dengan algoritma yang menyebabkan munculnya fenomena filter bubble. Tak heran jika ia menyimpulkan bahwa jalan menuju kemerdekaan pers yang sesungguhnya itu masih panjang karena kemerdekaan pers tidak didapatkan secara instan.
Pembicara ketiga, Alida Maharani, menyoroti masalah jurnalisme warga yang marak hadir di era digital belakangan ini. Ia menilai positif jurnalisme warga namun tetap menekankan agar masyarakat tidak mudah percaya saat menerima maupun membuat informasi.
Kemerdekaan Pers Adalah Hak Asasi
Setelah speech panel, acara dilanjutkan dengan talk show berjudul “Kemerdekaan Pers, Jurnalisme Warga, dan Peran Media Sosial” yang menghadirkan tiga pembicara yaitu anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro, Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Prof Rachmat Kriyantono, dan pemimpin redaksi Radar Malang Fatoni P. Nanda.
Rachmat menyebutkan bahwa pers diberikan hak untuk mencari maupun memviralkan informasi. “Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi adalah bagian dari hak asasi manusia sehingga kemerdekaan pers merupakan hak asasi seluruh warga negara Indonesia,” jelasnya.
Di era digital, kemerdekaan pers mendapatkan tantangan dari sebuah fenomena bernama algoritma. Sapto menjelaskan, saat ini, banyak media online yang tunduk pada algoritma. Padahal, algoritma itu adalah mesin.
“Banyak media memikirkan kebutuhan mesin yakni algoritma, padahal pembacanya kan manusia. Media itu beda dengan media sosial karena media harus melakukan verifikasi. Tidak harus main cepat-cepatan, tapi bener-beneran (paling benar, red),” kata Sapto.
Sebab, kredibilitas sebuah media berkaitan erat dengan upayanya menghadirkan informasi yang benar dan terverifikasi. Kredibilitas ini pula yang berat dan harus terus dipertahankan sehingga media tetap mendapat kepercayaan para pembaca.
“Kami beberapa kali menerima mahasiswa magang. Jujur, memang sulit sekali menjelaskan tentang kredibilitas media ini,” sambung Fatoni.
Acara “Dewan Pers Sambang Kampus” di Universitas Brawijaya diikuti sekitar 200 mahasiswa yang memenuhi Aula Nuswantara kampus FISIP yang menjadi lokasi acara.