JAKARTA—Dewan Pers menyatakan prihatin atas tersebarnya identitas anak dalam pemberitaan yang terkait kasus hukum. Pernyataan itu disampaikan Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, ketika menerima tujuh peneliti anak dari Wahana Visi Indonesia (WVI) pada Rabu (7/6) di kantor Dewan Pers Jakarta. WVI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu perlindungan anak.
“Di Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) antara lain ditegaskan, bahwa dalam pemberitaan agar tidak menuliskan identitas anak,” kata Ninik. Selain itu, Pedoman Pemberitaan Keberagaman dan Terorisme (PPKT) pun menegaskan hal itu.
Menurut dia, hukum selalu baik dan adanya peraturan adalah untuk dipatuhi. Akan tetapi dalam implementasinya, itu sangat tergantung pada kepatuhan masyarakat. Terkadang ada yang patuh, namun ada pula yang tidak mengindahkan.
Ninik menambahkan, setiap orang --tak terkecuali anak-- dapat menyampaikan keberatan langsung kepada media yang melakukan pelanggaran hak anak. Terhadap berita tersebut, pengadu dapat meminta media itu untuk melakukan perbaikan pada berita yang melanggar hak anak. Selain itu, mekanisme lainnya yang tersedia adalah melalui penyampaian pengaduan ke Dewan Pers.
“Apabila sudah menyampaikan keberatan kepada media tersebut namun tidak ditanggapi, maka dapat melanjutkan pengaduan ke Dewan Pers,” tutur Ninik. Khusus pemberitaan kasus anak AG yang juga menjadi perhatian peneliti anak, Ninik mengutarakan, bahwa Dewan Pers telah menerbitkan dua rilis yang kembali mengingatkan media untuk patuh terhadap PPRA.
Ia juga prihatin atas tersebarnya identitas anak yang bermasalah dengan hukum dalam pemberitaan, baik berupa nama, foto, dan identitas lainnya. “Terlepas apa pun posisinya, baik korban maupun tersangka, anak harus dilindungi identitasnya,” ujarnya.
Dewan Pers telah membuat pagar sebagai panduan agar pers menulis sesuai aturan yang ada. Selain PPRA dan PPKT, ada juga Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) agar pemberitaan bisa akurat, berimbang, menerapkan asas praduga tak bersalah, serta sesuai kaidah yang berlaku. Pedoman itu, papar Ninik, bukan untuk membatasi kerja pers namun bertujuan agar karya jurnalistik yang dihasilkan berkualitas dan tidak semata-mata hanya mengejar click bait (umpan klik).
Koordinator peneliti anak, Indah S, merasa risau dengan pemberitaan media yang belakangan ini dinilai mencederai hak anak, khususnya hak atas perlindungan identitas anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Ia mempertanyakan masih adanya media yang tidak menutupi identitas anak yang menjadi korban, saksi, atau tersangka.
Pertanyaan senada juga dilontarkan oleh Yunita, anggota peneliti anak. Ia menyatakan, meski pelaku tindak pidana itu adalah anak, tidak semestinya media sosialnya disebar oleh media.
Peneliti anak lainnya, Revia mengaku pernah membaca sebuah berita tentang kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak di Jambi. Namun, dalam pemberitaan di media tersebut, wajah anak itu diperlihatkan oleh media.