JAKARTA—Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu SH MSi, menggelar jumpa pers pertama di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (17/1). Dihadiri para anggota Dewan Pers, wakil konstituen, dan awak media, Ninik yang baru terpilih pada 13 Januari lalu untuk sisa masa jabatan 2023-2025 menggantikan almarhum Prof Azyumardi Azra, mengemukakan beberapa pandangannya.
“Karya jurnalistik adalah hasil dari pelaksanaan fungsi pers. Sedangkan pers adalah pilar keempat demokrasi. Itu sebabnya karya jurnalistik hendaknya berkontribusi mengokohkan pilar demokrasi, bukan malah meruntuhkan demokrasi,” kata Ninik yang juga pernah dua periode menjadi komisioner Komnas Perempuan dan anggota Ombudsman Republik Indonesia.
Menurut Ninik, pemberitaan yang menyimpang dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan bentuk penyimpangan sebagai pilar keempat demokrasi (di luar eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Pemberitaan seperti itulah yang dinilainya berpotensi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Wakil Ketua Dewan Pers, Muhammad Agung Dharmajaya, perempuan pertama yang menjadi ketua Dewan Per situ menambahkan, ekosistem pers nasional mengalami fluktuasi. Ada sisi yang mengalami stagnasi, ada sisi kemunduran, dan ada pula yang memperlihatkan kemajuan.
Tidak jelasnya penyelesaian kasus-kasus penegakan hukum terhadap insan pers, tuturnya, menunjukkan adanya stagnasi. Ia memberi contoh soal serangan yang dilakukan orang tak bertanggung jawab atas media sosial awak redaksi sebuah media. Kemudian serangan yang dialami oleh wartawan di Medan yang juga tak tertangani dengan tuntas.
“Kemunduran ekosistem pers terjadi saat ada upaya mempersempit ruang untuk mendapatkan informasi yang dialami oleh kawan-kawan jurnalis. Jika tugas jurnalis dibatasi dan tidak bisa membuka diri untuk kepentingana tugas jurnalistik, tentu ini suatu kemunduran,” ungkapnya.
Ia meminta semua pihak dan seluruh pemangku kepentingan pers nasional untuk bekerja keras bersama menjaga dan mengupayakan kemerdekaan pers. Dia mengakui, kemerdekaan pers memiliki banyak tantangan, terutama pada tahun politik yang bersamaan dengan pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak.
Sementara itu, sisi kemajuan pers nasional ditandai dengan peningkatan profesionalisme insan pers dan perusahaan pers. Ninik mengutarakan, kini ada standar perusahaan pers, ada standar verifikasi media. Ada pula standar kompetensi wartawan yang diharapkan semakin meningkatkan kualitas jurnalis dan karya-karyanya.
Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli, menegaskan ada catatan kelam bagi pers nasional. Ini terjadi lantaran dari 22 reformulasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari Dewan Pers terhadap pasal-pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, hanya satu pasal yang diakomodasi di bagian penjelasan.
“Kita akan terus mengupayakan kemerdekaan pers. Dewan Pers telah bekerja sama dengan kepolisian agar menghindari kriminalisasi terhadap jurnalis. Sengketa-sengketa pers akan diselesaikan melalui mekanisme di Dewan Pers. Jika itu merupakan masalah pidana akan diserahkan ke kepolisian,” kata Arif.
Sedangkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, menambahkan selama 2022 ada 691 kasus pengaduan pemberitaan. Sebanyak 630 kasus (90%) bisa terselesaikan. Dari semua kasus itu, paling banyak terjadi di media daring, yakni sekitar 90%.
Urutan pelanggaran tertinggi, ujar Yadi, karena tidak dilakukan verifikasi dalam pemberitaan oleh media-media daring tersebut. Berikutnya terkait dengan informasi hoaks dan fitnah lalu provokasi seksual.
“UU Pers dan kemerdekaan itu hanya untuk media dan jurnalis yang profesional, bukan media yang menumpang kemerdekaan pers. Dewan Pers juga akan aktif untuk menindak media yang melakukan provokasi seksual, tanpa harus menunggu pengaduan,” papar Yadi.