Semarang – Kehadiran pers dalam memberikan informasi yang sesuai dengan fakta dan kode etik, harus dipantau oleh masyarakat. Hal itu merupakan hak masyarakat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 17. Demikian dikatakan Ninik Rahayu, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers, saat memberikan paparan pada Diskusi Publik Pemantauan Media dan Jurnalisme Berkualitas, yang dilaksanakan di Gumaya Tower Hotel, Semarang, pada Kamis (6/10).
Lebih lanjut Ninik menjelaskan bahwa kehadiran pemantau media diperlukan ketika ada indikasi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik, misalnya pemberitaan yang tendensius, opini yang menghakimi, mencemarkan nama baik seseorang dan lainnya. “Kehadiran perusahaan pers dan jurnalis adalah memberikan informasi yang kredibel, yang sesuai dengan fakta dan bukan asumtif. Untuk itu kegiatannya perlu dipantau,” jelas Ninik.
Ninik juga menyebutkan bahwa pemantau media muncul sebagai suatu lembaga independen yang melakukan pemantauan terhadap pemberitaan media massa. Kehadirannya merupakan kontrol atas kemerdekaan pers yang bukan dari pemerintah melainkan dari masyarakat itu sendiri.
Senada, Asmono Wikan, Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers yang juga hadir sebagai narasumber dalam diskusi, memaparkan bahwa selama ini agenda-agenda yang terkait dengan pers masih sangat kurang melibatkan peran serta masyarakat. Padahal sesungguhnya peran serta masyarakat adalah sesuatu yang penting dalam memantau media.
Asmono lalu mengaitkan peran pemantau media dengan pengaduan di Dewan Pers. Berdasarkan data dari Komisi Pengaduan Dewan Pers, pengaduan masyarakat terkait karya jurnalistik menunjukkan tren yang terus meningkat. “Di satu sisi kami gembira bahwa ada kesadaran masyarakat untuk meletakkan sengketa jurnalisme tidak dalam kaitan penegak hukum tetapi melalui Dewan Pers. Namun di sisi lain, kami juga prihatin bahwa semakin banyaknya pengaduan kepada Dewan Pers artinya potensi untuk terjadinya distorsi jurnalisme berkualitas itu sangat terbuka,” katanya.
Latar belakang itu yang menjadi dasar pelaksanaan diskusi publik ini. “Kami ingin mendorong peran serta masyarakat supaya lebih aktif lagi untuk ikut memonitor kualitas dari lembaga pers atau media,” lanjut Asmono. Meskipun demikian, dijelaskan Asmono, pelaksanaan kegiatan ini bukan berarti Dewan Pers ingin membuat pemantau media, melainkan memotivasi agar masyarakat proaktif membentuk lembaga pemantau media. “Dewan Pers akan terus mendorong agar ruang publik dan partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pemantauan media menjadi semakin luas.”
Kredibilitas
Selepas pemaparan dari narasumber, diskusi berjalan dengan interaktif. Yuniar, perwakilan Radio Elshinta, menyampaikan keresahannya mengenai komentar negatif dari netizen yang beredar di media sosial milik medianya. Ninik Rahayu menanggapi, “Diperlukan standar pemantauan. Jangan sampai komentar netizen ini menghancurkan media, menghalangi kinerja media.”
Mewakili akademisi, Lintang Ratri, Dosen Universitas Diponegoro mendukung tanggapan Ninik. “Justru pemantau media memang dibutuhkan. Karena kritiknya berdasarkan riset, jadi media ini tidak dipersekusi (oleh netizen),” katanya.
Di akhir acara, Asmono Wikan dan Ninik Rahayu menegaskan, Dewan Pers akan membuat pedoman pemantauan media. Hal ini dilakukan agar pemantau media memiliki etika dan kompetensi teknis sehingga kritik yang disampaikan kredibel dan meningkatkan jurnalisme berkualitas di Indonesia.
Diskusi Publik Pemantauan Media dan Jurnalisme Berkualitas ini melibatkankan sekitar 50 orang peserta dari berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari akademisi, unsur pemerintah, korporasi, konstituen Dewan Pers di Semarang, maupun perwakilan dari perusahaan pers. Hadir pula dalam diskusi, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan, Arif Zulkifli. Kegiatan ini direncanakan tidak akan berhenti di Semarang saja, melainkan di seluruh daerah Indonesia untuk meningkatkan pemantauan media yang lebih merata.