TEMPO.CO, Jakarta- Dewan Pers telah menyikapi laporan pengaduan menyangkut kekeliruan pemberitaan sejumlah media siber yang memuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat.
"Dewan Pers menilai kesalahan dalam pemberitaan putusan PTUN murni masalah lemahnya profesionalisme media. Dewan Pers tidak menemukan unsur-unsur politis di dalamnya," kata Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dalam keterangan tertulis, Jumat, 12 Juni 2020.
Puluhan media sebelumnya diadukan oleh Ade Armando dan sejumlah orang lantaran membuat berita yang menyatakan bahwa PTUN memerintahkan Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika untuk meminta maaf. Ade Armando menduga ada pihak yang memancing di air keruh dengan memasok informasi salah kepada para wartawan, lantaran kesalahan dilakukan banyak media.
Sebab, putusan PTUN hanya menyatakan Presiden dan Menkominfo bersalah karena memperlambat dan memutus akses internet ketika terjadi kerusuhan pada 2019 lalu dan memerintahkan Presiden dan Menkominfo harus membayar biaya perkara Rp 475 ribu.
Dewan Pers telah memanggil 33 media massa siber pada 10 dan 11 Juni 2020 untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Dalam forum klarifikasi itu, masing-masing media menjelaskan upaya mereka melakukan klarifikasi. Misalnya dengan mengakses dokumen petitum penggugat di website PTUN tanpa menyadari petitum tersebut telah diperbarui oleh penggugat.
Menurut Nuh, secara umum masing-masing media mengakui kesalahan, yakni penggunaan informasi yang tak akurat tanpa proses konfirmasi yang memadai terhadap sumber, sehingga melahirkan pemberitaan yang cenderung menghakimi. Dalam pemberitaan awal, banyak media yang membuat judul bahwa PTUN memerintahkan Presiden meminta maaf atas pembatasan dan pemutusan akses internet di Papua.
"Masing-masing media menyesali kesalahan ini," kata Nuh. Beberapa media bahkan telah meminta maaf atas kesalahan itu dalam koreksi berita yang dipublikasikan tak lama setelah kesalahan pemberitaan terjadi.
Dewan Pers mengapresiasi langkah koreksi dan permintaan maaf tersebut. Namun Nuh mengingatkan, Pasal 4b Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber menyatakan bahwa 'ralat, koreksi, dan/atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi, atau yang diberi hak jawab'.
Maksudnya, kata dia, berita yang dikoreksi, diralat, atau diberi hak jawab semestinya tidak dihapuskan. Ketentuan ini hanya dikecualikan untuk pemberitaan yang terkait dengan SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatis korban, atau berdasarkan pertimbangan khusus yang ditetapkan Dewan Pers.
Nuh juga mengatakan kesalahan pemberitaan ini merupakan pelajaran berharga bagi insan pers Indonesia. Dewan Pers memahami media siber bekerja berdasarkan kecepatan penyampaian informasi. Namun, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik tak boleh diabaikan. Dewan Pers mengimbau agar kerja jurnalistik selalu bertumpu pada upaya verifikasi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan, apa pun situasinya.
"Untuk menjaga nama baik pers profesional dan untuk menghindarkan media dari tuduhan terlibat dalam skenario politik tertentu, perlu kiranya segera dikoreksi kecenderungan menyajikan berita dengan judul dan isi yang kurang-lebih seragam pada media-media yang berbeda," ujar mantan Menteri Pendidikan ini.
Sumber berita: Kekeliruan Berita Putusan PTUN, Dewan Pers: Tak Ada Unsur Politis