Jakarta, 4 Mei 2020 -- Perusahaan pers cetak di daerah mendapat tekanan bisnis jauh lebih besar dibanding koleganya di Jakarta. Kendati begitu, mereka sama-sama terdampak parah akibat pandemi Covid-19.
Itulah temuan dari survei Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat terhadap 44 perusahaan pers anggota SPS se-Indonesia yang dipilih secara acak sederhana, mewakili perusahaan pers di Jakarta dan daerah, berlangsung pada tanggal 22 – 23 April 2020 melalui pengisian kuesioner. Untuk diketahui, SPS memiliki 434 anggota yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
Seluruh responden mengakui jika Covid-19 telah memberi tekanan bisnis bagi mereka. Umumnya (80%) tekanan itu bervariasi, mencakup penurunan iklan, sirkulasi, dan berkurangnya aktivitas offprint yang biasa mereka programkan bersama klien (seminar, pelatihan, ultah perusahaan, dan sebagainya). Hanya 20 persen responden yang merasakan tekanan itu terjadi pada salah satu faktor tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa bagi perusahaan pers cetak, krisis akibat pandemi Covid-19 benar-benar berdampak kompleks.
“Mayoritas perusahaan pers (71%) omzetnya turun lebih dari 40% selama masa pandemi Covid-19 dibanding periode sama 2019,” ungkap Sekretaris Jenderal SPS Pusat, Asmono Wikan, mengutip hasil survei.
Akibat tekanan tersebut, semua responden mengakui terjadi penurunan konsolidasi pendapatan yang signifikan pada periode 1 Maret sd 15 April 2020 dibanding periode sama tahun 2019. Penurunan terbanyak, 40 – 60%, dialami oleh 38,63% responden. Berikutnya penurunan di atas 60% oleh sebanyak 31,81% responden. Praktis, mayoritas responden (71%) mengalami penurunan pendapatan di atas 40%. Hanya 29% responden yang pendapatannya turun di bawah 40%.
“Temuan lain yang signifikan, separuh perusahaan pers anggota Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat telah memotong gaji karyawan. Besaran potongan gaji ini sangat bervariasi, antara 2 sd 30 persen, bergantung kebijakan masing-masing perusahaan pers,” imbuh Asmono yang menjadi koordinator survei tersebut.
Meskipun beban usaha terbesar akibat dampak krisis terjadi pada faktor gaji (THP) karyawan (68%) baru disusul oleh biaya cetak (45%), namun efisiensi yang dilakukan perusahaan pers terbanyak justru pada sektor pengurangan volume atau oplah cetak oleh 70% responden. Selanjutnya diikuti 57% responden mengurangi halaman penerbitan mereka. Dan hanya separuh responden (50%) yang memotong gaji karyawan.
Di luar memotong gaji karyawan dan mengurangi oplah, responden juga melakukan langkah-langkah efisiensi seperti memangkas biaya operasional, mengurangi jam kerja/shift, meniadakan biaya rapat di luar kantor, menghilangkan makan ringan wartawan, menghentikan proses mencetak dan kegiatan peliputan, mengurangi frekuensi penerbitan menjadi 5 atau 6 kali seminggu, hingga menghentikan tunjangan uang makan dan uang transport karyawan.
Empati perusahaan makin nyata kepada karyawan, dengan adanya temuan bahwa lebih dari separuh responden (56,8%) tidak berencana untuk merumahkan karyawan tanpa digaji (unpaid leave). Sementara sisanya (43,2%) sudah dan sedang mengkaji opsi tersebut, dengan kisaran jumlah karyawan yang dirumahkan antara 2 – 25 orang tiap perusahaan. Jika didalami, perusahaan pers daerah yang justru cenderung mengambil kebijakan ini (38,6%) dibanding koleganya yang di Jakarta hanya 4,45% responden.
Umumnya, perusahaan pers baik di Jakarta maupun daerah, kompak tidak berencana maupun sudah melakukan PHK karyawan (61,4%), berbanding 38,6% yang sudah dan tengah berencana “mempensiunkan” karyawan mereka. Jumlah karyawan yang sudah maupun akan di-PHK itu berkisar 3 – 30 orang di setiap perusahaan yang memilik opsi tersebut.
Mayoritas perusahaan pers yang menjadi responden survei ini (70%) merasa bahwa tidak ada peluang bisnis yang bisa mereka garap selama krisis Covid-19 masih berlangsung. Kontras dengan 30 persen yang masih melihat ada peluang di balik krisis ini. Perusahaan pers di Jakarta yang melihat masih ada peluang bisnis sebesar 18,18% berbanding koleganya di daerah yang hanya 11,36%.
Apa peluang-peluang itu? Menurut responden perusahaan pers daerah, peluang itu bisa terdiri dari kerjasama iklan dengan pemerintah daerah (propinsi/kota/kabupaten) terutama di masa penanganan Covid-19. Kemudian memproduksi konten bagi klien, penayangan iklan pejabat daerah yang meninggal akibat Covid-19, hingga tetap memperkuat pemasaran berlangganan suratkabar. Bagi para penerbit pers cetak di Jakarta, peluang yang mereka rasakan seperti penerbitan buku, penguatan pemasaran produk dan iklan (majalah/suratkabat/tabloid) versi digital (e-paper dan website), penyelenggaraan seminar online, hingga kerjasama dengan pemerintah dan korporasi terkait kampanye melawan Covid-19. Tak ketinggalan, responden memandang bahwa media cetak memiliki peluang kuat sebagai referensi utama melawan penyebaran hoax dari media online dan media sosial.
Pada akhirnya, mayoritas responden yang merasa tidak ada peluang bisnis di masa pandemi ini maupun mereka yang masih melihat ada peluang, berharap agar pemerintah memberikan insentif di sektor perpajakan, penundaan pembayaran BPJS, dan bantuan jaring pengaman sosial bagi karyawan perusahaan pers yang terdampak. Hal ini karena selama masa pandemi, pendapatan-pendapatan alternatif seperti event offline terhenti selama masa pandemi. ***