Hal itu diungkapkannya setelah Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri menangkap tiga orang dari kelompok Saracen, sindikat penyedia jasa konten kebencian. “Dia kelompok bayaran yang mempunyai sekitar 700 ribu pengikut. Mereka punya saracennews.com yang merupakan media yang belum terverifikasi Dewan Pers. Verifikasi menjadi urgent sekarang, untung ada tim siber dari Polri,” ujarnya kepada Tempo, Kamis (24/8/2017). Apabila ditinjau secara umum, kata Stanley, berita yang ditampilkan di laman tersebut tampak biasa saja. Hanya saja, dia berujar permasalahan terjadi lantaran kelompok itu juga memproduksi konten hoax dan konten kebencian berbau SARA (suku, ras, agama, dan antargolongan) melalui media sosial. Menurut dia, sekarang ini oknum berkedok media seperti Saracen cukup banyak. “Marak media-media seperti ini (saracennews.com). Ini yang ketahuan karena ada patroli siber dari Kepolisian,” ujarnya. Yosep mengatakan mediamedia online telah membanjiri dunia maya. Menurut dia, saat ini yang tercatat di dewan pers dalam data tahun 2015 adalah 168 media online. Tetapi dia memperkirakan jumlah media online di Indonesia sekarang telah mencapai angka 43.300 media. Karena itu, Yosep menyatakan pentingnya verifikasi terhadap mediamedia tersebut guna mencegah penyalahgunaan media oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. “Ini penting karena saat ini banyak pihak tidak punya pegangan media apa saja yang bisa diajak kerja sama dan sehat. Banyak media yang dibuat untuk menghisap APBD, juga menyebarkan fitnah dan buzzer,” ucapnya. Dia mengingatkan bahwa semangat dari media adalah kebebasan pers yang bermuara pada kepentingan publik. “Kalau fungsi pers digunakan untuk hal negatif seperti memproduksi isu sara dan disebarkan, maka itu bukan institusi pers. Pers itu melayani publik dan bukan melayani hal-hal negatif seperti itu,” dia menegaskan. Ke depannya, Dewan Pers akan tetap bekerja sama dengan kepolisian untuk membantu proses-proses penindakan kasus yang berkaitan dengan media. Dia menyatakan siap mendatangkan ahli pers bila memang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus itu. (tempo.co)
Dewan Pers Luncurkan IKP 2016
Indonesia di Bawah Timor Leste
Dewan Pers pada Selasa, 8 Agustus 2017 meluncurkan buku hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2016. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan IKP 2016 memuat survei di 24 kota di Indonesia. Jumlah kota ini lebih banyak dibandingkan IKP tahun 2015 lalu yang melakukan survei di 13 kota
Berdasarkan IKP 2016, posisi terbaik diraih oleh Kalimantan Barat, sedangkan yang indeks kemerdekaan pers terburuk ada di Papua Barat. Tujuan survei yakni untuk memetakan dan memonitor perkembangan pelaksanaan hak kemerdekaan pers. Selain itu, memberi sumbangan pada peningkatan kesadaran dan perdebatan publik mengenai kemerdekaan pers serta membantu mengidentifikasi prioritas-prioritas apa yang perlu dilakukan untuk perbaikan ke depan
Selain memperbaiki situasi kemerdekaan pers antar daerah, Dewan Pers juga berharap semua pihak bisa membantu Indonesia menaikkan posisi di Indeks Kebebasan Pers di dunia. Peringkat IKP Indonesia 2017 berada di urutan 124. Peringkat tersebut naik dibanding tahun lalu yang berada di posisi 150. Anehnya, kebebasan pers Indonesia ternyata masih di bawah Timor Leste.
“Tahun ini, Indonesia menduduki posisi ke-124 dari 150 negara terkait IKP. Jadi kemerdekaan pers Indonesia jauh di bawah Timor Leste, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand,” ujar Stanley.
Ia menilai, posisi Indonesia yang berada di bawah Timor Leste tidak masuk akal, karena justru lembaga semacam Dewan Pers di negara tersebut, meminta Dewan Pers di Indonesia menjadi mentor mereka. “Sesuatu yang tidak masuk akal, karena Dewan Pers diminta menjadi mentor untuk Dewan Pers Timor Leste,” katanya.
Ia pun menceritakan pengalamannya, ketika melihat secara langsung kondisi pers di Timor Leste, setelah dua kali menyambangi negara tersebut. “Mereka sedang menyusun perangkat-perangkat lunak bagaimana untuk menangani pengaduan Dewan Pers, dan seluruhnya mereka mengadopsi dari model yang dikembangkan Dewan Pers Indonesia,” tutur Stanley.
Dia menyebut, jumlah mediamassa di negara tersebut tidak sebanyak di Indonesia, hanya ada 14. Hal ini sangat jauh dibandingkan media di Indonesia yang mencapai 47.000.
“Dari sisi perusahaan pers di Timor Leste, itu hanya bantuan-bantuan pemerintah kepada media setempat. Industri pers belum tumbuh dengan sehat,” kata dia.
Dia menegaskan, dengan melihat kondisi tersebut, posisi pers Indonesia di bawah Timor Leste bukanlah kabar yang menggembirakan. Apalagi di sisi lain, pers Indonesia sudah mengalami perkembangan yang jauh lebih baik setelah Orde Baru.
“Kini orang bebas mendirikan perusahaan pers, wartawan bebas bekerja dan mengkritik. Di beberapa daerah memang masih ada kasus kekerasan terhadap wartawan. Namun, secara umum perkembangan pers Indonesia terus menuju arah lebih baik,” pungkas Yosep.
Tahun lalu, dua lembaga internasional yang rutin mengeluarkan Indeks Kebebasan Pers (IKP) dunia, yakni Reporters Without Borders (RWB) atau Reporters Sans Frontières (RSF), dan Freedom House menempatkan pers Indonesia di peringkat 130, di bawah negara-negara yang sedang mengalami konflik atau perang seperti Afganistan pada peringkat 120 dan Zimbabwe pada peringkat 124.
Kepentingan Pemilik Jadi Tantangan
Tarikan kepentingan pemilik media menjadi salah satu ancaman terbesar kemerdekaan pers di Indonesia. Kegagalan mengatasi tantangan itu dalam jangka panjang akan menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga pers. Padahal, pada era banjir informasi media sosial, peran pers semakin dibutuhkan untuk menyediakan informasi berbasis fakta yang terverifikasi.
Paparan hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2016 di Indonesia yang disusun oleh Dewan Pers di Jakarta, Selasa (8/8/2017), secara umum menunjukkan bahwa kemerdekaan pers di Indonesia berada dalam kategori agak bebas dengan nilai 63,44. Dari skala 0-100, semakin mendekati 100 semakin baik tingkat kemerdekaan pers. Kategori agak bebas di kisaran nilai 56-69.
Indeks itu disusun berdasarkan 20 indikator yang terbagi dalam tiga dimensi besar, yakni lingkungan fisik dan politik, ekonomi, serta hukum. IKP 2016 yang mengambil sampel 24 provinsi di Indonesia mengindikasikan tantangan terbesar kemerdekaan pers di Indonesia bukan lagi soal intervensi dari penguasa seperti terjadi pada era Orde Baru, tetapi berasal dari internal pers.
Lima indikator utama yang terindikasi mengancam kemerdekaan pers, berdasarkan data IKP 2016, ialah independensi media dari kelompok kepentingan (56,14 persen), tata kelola perusahaan (57,63), independensi lembaga peradilan (59,33), etika pers (69,85), dan kehadiran lembaga penyiaran publik (61,25).
“Kami mendorong institusi pers betul-betul independen. Ruang redaksi dipimpin oleh wartawan senior yang bisa bertahan kalau diintervensi pemilik,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo
Menurut Stanley, pemilik media bisa berganti dan afiliasi politik pemilik media bisa berganti, tetapi redaksi media relatif tetap berada di institusinya sehingga rentan dijadikan sasaran massa yang tidak suka dengan afiliasi politik pemilik media. Oleh karena itu, Dewan Pers mendorong sertifikasi kompetensi wartawan lalu juga memverifikasi perusahaan media. Jika kemudian media digunakan untuk corong politik berulang-ulang, bisa saja Dewan Pers membatalkan hasil verifikasi media itu.
Dalam pada itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widyastuti mengatakan, peran pers semakin besar di tengah banjir informasi akibat pertumbuhan internet.
Menurut dia, media bisamemberikan informasi yang valid agarinformasi yang diterima masyarakat melalui internet tidak langsungditerima begitu saja. Ia mengharapkan media-media arus utama (mainstream) menjadi salah satu ujung tombak dalam melawan hoax atau berita palsu melalui pemberitaan sesuai dengan fakta.
Menurut dia, saat ini media “mainstream” kembali dicari oleh masyarakat sebagai sumber informasi yang lebih dipercaya setelah banyaknya informasi yang ada di media sosial. Untuk itu, berbagai pemberitaan di media “mainstream” juga diharapkan ikut disebarkan melalui media sosial.
Menurut dia, saat ini, masyarakat Indonesia memiliki perilaku untuk menyebarkan informasi yang dominan dengan pola 10-90. “Artinya 10 persen memproduksi informasi dan 90 persen lainnya yang menyebarkan,” katanya.
Dengan adanya berbagai informasi yang terpercaya dari media-media “mainstream” maka diharapkan juga persepsi masyarakat yang terbentuk juga lebih baik, hal ini mengingat informasi yang dibuat oleh media massa melalui prinsip kerja jurnalistik yang mengendepankan fakta.
Di sisi lain, media sosial yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menyebarkan informasi tidak memiliki prinsip kerja jurnalistik sehingga informasi apapun dapat disebarkan meskipun tidak benar.
“Kalau media memenuhi dengan info yang valid , berita betul-betul akurat, maka akan lebih sehat dan berimbang,” katanya.