Proses Hukum Pelaku Kekerasan terhadap Pers Tak Pernah Tuntas

images

Dewan Pers mencatat berbagai kasus kekerasan terhadap wartawan beberapa waktu terakhir. Beberapa di antaranya yakni perampasan alat kerja dan pemukulan serta penyerangan saat peliputan dan aksi penyerangan dan demonstrasi ke kantor media. Ketua Dewan Pers Yosep  
‘Stanley’ Adi Prasetyo menuturkan, jaminan kemerdekaan pers telah diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. “Kebebasan pers di Indonesia terwujud saat gerakan reformasi pada 1998 pasca lengsernya Presiden Soeharto. Saat itu Presiden BJ Habibie 
yang mensahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tidak ada lagi kewenangan pemerintah untuk membreidel suatu media,” papar Stanley dalam Diskusi Publik Ancaman Terhadap Kebebasan Pers di Gedung Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Depok, Jumat (23/3/2018). Stanley tampil bersama peneliti media yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Eriyanto dan pengajar jurnalistik Universitas Indonesia, Mangiang. Stanley menambahkan, Pasal 8 UU 40/1999 menyebutkan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Saat ini, kata Stanley, kekerasan tak lagi dilakukan oleh aparat atau pemerintah, tetapi oleh kelompok kelompok komunal, termasuk yang baru saja dialami oleh Radar Sukabumi dan Majalah Tempo. Ancaman terhadap kebebasan pers, lanjut Stanley, juga datang dari ancaman pidana sejumlah Undangundang lainnya seperti KUHP dan UU ITE, termasuk juga dari kalangan bisnis terutama pemilik media yang memaksakan liputan media sesuai kepentingan si pemilik. “Kasus pengusutan pembunuhan terhadap wartawan juga tak pernah tuntas. Kurang profesionalnya institusi penegakan hukum terkait kemerdekaan pers di mana negara menjadi pemegang kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi perlindungan terhadap insan pers,” papar Stanley. Dia mengungkapkan, Dewan Pers turut berperan serta menyelesaikan kasus kasus pemberitaan yang bermasalah dengan melakukan mediasi dan ajudikasi terhadap kasus-kasus yang diadukan  ke Dewan Pers. “Kami juga hadir sebagai ahli dalam sidang-sidang terkait media dan wartawan. Kami juga umumkan pengaduan yang masuk dari masyarakat beserta penyelesaian yang dilakukan,” tuturnya. Dewan Pers juga telah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sejumlah lembaga negara untuk menjadikan hukum pers sebagai lex specialis dalam menyelesaikan masalah terkait pers. Berbagai upaya telah dilakukan Dewan Pers untuk menyelesaikan masalah terkait pers dengan menjalin Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kapolri pada 9 Februari 2017, MoU dengan Kejaksaan Agung, Beredarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008, MoU dengan Panglima TNI pada 9 Februari 2017, dan MoU dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tertinggal Dalam pada itu, dalam data yang dipaparkan oleh Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia diungkap bahwa skor kebebasan pers di Indonesia masih berada di bawah Timor Leste. “Skor Timor Leste itu 16. Sedangkan Indonesia 28,5. Ini sangat memprihatinkan. Bayangkan saja kita berada di bawah negara yang belum lama merdeka dan dulunya adalah bagian dari Indonesia,” ujar Peneliti Media yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Eriyanto. Sedangkan Masmiar Mangiang menggarisbawahi adanya ancaman kekerasan terhadap media sebagai salah satu kejahatan yang berbahaya.  “Ini cerminan bahwa kita tidak siap berdemokrasi. Tidak siap bertukar pikiran. Kalau kita siap tidak perlu adu otot dengan membawa banyak orang. Kalau diskusi itu memakai otak,” ujarnya. 

By AdminMediaCentre| 25 September 2018 | berita |