Sejak awal Januari hingga awal Juni tahun 2017 setidaknya ada sembilan peristiwa serangan teroris mematikan yang terjadi secara beruntun di negara-negara seperti Inggris, Turki, Rusia, Swedia, Australia, Filipina hingga Indonesia. Nyawa manusia seakan tidak berharga lagi dan direnggut secara paksa oleh tindakan pengecut dan tanpa ampun para teroris. Meskipun tidak terlihat bukti secara nyata, namun ISIS mengklaim bertanggung jawab atas sebagian besar seranganserangan tersebut.
Kita semua sepakat bahwa semua aksi terorisme dengan berbagai alasan harus segera dihentikan. Karenanya, setiap negara di dunia harus bekerja sama untuk menghadapi musuh bersama ini. Demikian pula dengan media sangat diharapkan untuk berperan aktif dalam perang terhadap terorisme karena memiliki keterkaitan erat. Secara khusus media pemberitaan yang akan saya paparkan pada kesempatan ini.
Terorisme dan perang melawan terorisme adalah elemen utama dalam perpolitikan baik domestik maupun internasional, di mana secara nyata media berada di posisi garis depan, terutama ketika masyarakat sipil yang menjadi
target serangannya. Setiap tindakan terorisme baik berskala besar maupun kecil akan memberikan dampak pada peliputan berita yang tak terelakkan oleh media massa. Media kontemporer/modern sangat mendambakan bahan cerita yang ideal dan menarik hati bagi manusia berupa drama, syok, tragedi, dan dukacita. Akibatnya, teroris mendapatkan kebutuhan utamanya yaitu publisitas besar dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka menyerang bahkan kepada negara atau bangsa terkuat sekalipun. Sementara bahan cerita tersebut memberikan energi kepada media untuk berkompetisi dalam meraih ukuran audiens dan sirkulasi yang lebih besar karena berita tersebut. Target pendapatan melalui iklan sangat penting dalam industri media. Dengan demikian terorisme dan media terjadi hubungan simbiosis dengan saling memberi “makan” satu dengan lainnya. Bahkan lebih daripada itu mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pernah mengatakan bahwa media adalah “oksigen terorisme”. Selanjutnya adanya tuduhan juga yang mengatakan bahwa media menjadi “megafon” terorisme untuk menarik perhatian khalayak menjadi bahan perdebatan karena pemberitaan yang berlebihan.
Tindakan terorisme secara
seksama dirancang dan ditujukan untuk orang-orang yang menonton atau membaca berita tersebut, bukan kepada korban akibat dari serangan teror. Para ekstrimis politik mengerti bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan akan mempublikasikan keberadaan mereka dan tindakan yang mereka lakukan. Untuk alasan inilah pada abad ke-19 para pelaku anarkis menjelaskan kekerasan mereka sebagai “propaganda of the deeds”, melakukan pernyataan kepada publik dengan tindakan kekerasan pada masa jauh sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak. Di era tersebut, pelaku teror yakin bahwa dengan menyerang tempat-tempat kerumunan akan ada banyak sekali saksi mata yang akan menyebarkan berita kepada keluarga, teman, dan kenalan mereka.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi sekarang ini, munculnya teknologi komunikasi terbaru juga akan meningkatkan kemampuan para teroris untuk mengekspoitasi perkembangan industri pemberitaan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Para pelaku teror tidak hanya bergantung pada “penjaga gerbang” media tradisional (koran, majalah berita, radio dan televisi) saja, tetapi juga berusaha untuk mengabaikannya dengan beradaptasi dan meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan instrumeninstrumen penting propaganda lainnya seperti penggunaan mesin cetak dan fotokopi, radio komunikasi, telepon satelit, DVD, video games, musik populer, novel, kanal televisi sendiri hingga media sosial dan internet.
Tujuan teroris yang pada akhirnya politik, meskipun ketika memberikan kesan tindakan mereka adalah sebagai motivasi religius. Beberapa dari mereka menginginkan kemerdekaan nasional, yang lain bersaing untuk perubahan rezim, masih ada lagi yang menuntut penarikan kekuatan asing dari sesuatu negara atau wilayah. Apapun tujuan akhir mereka, para teroris tahu bahwa publisitas dan propaganda diperlakukan untuk tujuan mereka yang lebih besar. Tanpa membuat teman dan musuh menyadari
keberadaan, motivasi serta tujuan para teroris tidak akan melanjutkan agenda politik mereka.
Jadi, ketika teroris menyerang atau mengancam melakukan kekerasan, mereka memiliki tujuan yang bergantung pada media karena beberapa alasan berikut: pertama, teroris menginginkan kesadaran audiens yang berada di dalam maupun di luar masyarakat yang menjadi sasaran tujuan mereka, sehingga target intimidasi mereka akan terpenuhi. Kedua, teroris menginginkan apa yang mereka lakukan diketahui oleh masyarakat. Mereka ingin orang bertanya, Mengapa membenci kita? Mengapa mereka menyerang warga sipil yang tidak berdosa? Ketiga, teroris menginginkan rasa hormat dan simpati dari orang-orang yang tertarik dengan tindakan yang dilakukannya. Keempat, teroris menginginkan status menguasai
secara sah dan menerima perlakuan yang sama dari media atau serupa dengan apa yang diterima oleh aktor-aktor politik lainnya. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut muncul pertanyaan sejauh mana perluasan liputan berita dapat menepis semua tujuan tersebut di atas.
Bagi teroris, mendapat perhatian dari media berita, publik, dan otoritas pemerintah tidaklah cukup. Mereka biasanya berniat untuk mempublikasikan alasan politik mereka dan bergantung pada media massa untuk menjelaskan dan mendiskusikan alasan mereka untuk beralih ke kekerasan. Latihan dalam komunikasi strategis atau diplomasi publik ini dirancang untuk menginformasikan dan mendidik kawan dan lawan tentang motif tindakan teroris. Agar hal ini terjadi, pelaku terorisme tidak perlu melakukan penjelasan sendiri, medialah yang akan melakukannya untuk mereka.
Di negara-negara yang berdemokrasi liberal dengan populasi masyarakatnya yang besar dan majemuk, kebanyakkan perpolitikan modernnya akan bergantung pada komunikasi yang termediasi secara masal karena interaksi pribadi secara langsung antara warga masyarakat dan pejabat pemerintah merupakan hal yang sudah biasa, bukan lagi diatur oleh regulasi atau peraturan. Dengan demikian, komunikasi politik sebagian besar yang terjadi di dalamnya membentuk segitiga komunikasi politik. Media massa, publik, dan pemerintah membentuk tiga sudut. Media sebagai gatekeepers (penjaga gerbang) tidak hanya mengendalikan akses terhadap berita, tapi juga akses ke masyarakat umum dan juga kepada pejabat pemerintah. Namun, ketika para ekstrimis menggunakan kekerasan politik-terorisme dengan kata lainnya, gerbang media terbuka untuk propaganda of the deeds dan menyebarkan pesan-pesan teror ke kedua sudut lainnya yaitu khalayak umum dan para pejabat pemerintahan.
Sama seperti para teroris memanfaatkan segitiga komunikasi politik tersebut, pemerintah juga memanfaatkan bentuk komunikasi masal ini. Memang, untuk masuk dalam segitiga komunikasi ini teroris harus menggunakan kekerasan atau membuat ancaman yang dapat dipercaya oleh media sebagai penjaga gerbang, sementara pejabat publik atau pemerintah tidak harus melepaskan kekerasan untuk mendapatkan akses tersebut karena pemerintah adalah bagian dari satu sudut segitiga komunikasi tersebut. Karena kuatnya sumber informasi dari pemerintah, terjadilah kecenderungan dalam mendominasi pelaporan mengenai kebijakan keamanan baik dalam dan luar negeri – terutama bila ini melibatkan konflik militer atau kemungkinan penempatan militer di suatu wilayah. Di Amerika Serikat, misalnya, sumber berita dominan ini biasanya berada di gedung putih, departemen luar negeri, dan pentagon.
Setelah setiap serangan teror, para ahli mempertanyakan tingkat dan nada liputan media. Mereka membandingkan kematian akibat terorisme dengan jumlah korban bencana alam, perang atau kecelakaan lalu lintas, selanjutnya meminta lebih banyak pembatasan terhadap media. Tapi perbandingan tersebut paling sering bermunculan karena sifatnya yang jelas-jelas adalah politis dan sosial. Seorang peneliti politik asal Venezuela, Moises Naim mengungkapkan bahwa “Pada tahun 2014, tingkat rata-rata pembunuhan di seluruh dunia adalah 6,24 kematian per 100.000 penduduk, sementara jumlah yang terbunuh oleh terorisme hanya 0,47 per 100.000, namun jika angka-angka ini relatif rendah dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, konsekuensi terorisme tidak dapat diukur. Terorisme bukanlah ancaman paling mematikan abad ke-21, namun tidak dapat disangkal telah mengubah dunia.” Terlepas dari hal tersebut, apakah jumlah liputan terorisme di media tidak sebanding?
Dalam melaksanakan peliputan terorisme sangatlah dibutuhkan
pengetahuan yang mendalam tentang kontra-terorisme. Sejumlah institusi, kementerian, layanan dan unit terlibat dalam hal ini dengan suatu misi yang dijalankan dan memperoleh hak istimewa dalam pelaksanaannya. Kontraterorisme menyiratkan banyak spesialisasi dan teknik surveilans serta intervensi yang canggih. Hal ini juga melibatkan segenap kekuatan baik eksekutif dan yudikatif, tapi juga legislatif, dengan pembentukan komite intelijen dan keamanan dalam parlemen serta komisi penyelidikan khusus. Upaya-upaya untuk membangun kerjasama kontra-terorisme secara internasional adalah sangat kompleks dengan keterlibatan badan dunia serta institusi-institusi dunia lainnya yang sangat jarang dan lemah membahas masalah tersebut.
Berpikir secara global sangat penting dalam perang melawan terorisme. Ini bukan hanya masalah kemanusiaan dan efektifitas, tapi juga kualitas jurnalistik. Dilema dan tantangan sangatlah jelas bahwa masyarakat berharap media untuk memberikan informasi semaksimal mungkin tanpa berlebihan atau mengarah pada sensasionalisme. Pihak berwenang menuntut pengengkangan dengan mengukur resiko cakupan yang berlebihan untuk integritas operasi atau menjaga ketentraman masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa terorisme bukanlah fenomena baru. Banyak negara telah menderita selama puluhan tahun dari kelompok-kelompok tersebut, baik internal maupun eksternal, termasuk aktor negara dan non negara, yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil sebagai strategi politik. Dalam banyak kasus, penduduk lokal menjadi lebih kuat dan lebih tangguh, membuktikan bahwa kebrutalan tidak cocok dalam jangka panjang untuk kemajuan persatuan dan nilai-nilai kebersamaan. Dalam konteks ini, media sangat penting dalam memberikan informasi yang dapat diverifikasi serta opini-opini selama menghadapi situasi krisis yang menegangkan, sementara masyarakat dalam keadaan emosi yang menyala-nyala sehingga peranan media menjadi semakin penting.
Resiko sebenarnya dari terorisme adalah ketakutan dan kecurigaan akan mendorong gelombang baru nasionalisme dan populisme, dan bahwa kebebasan yang diperoleh dengan kerja keras pada akhirnya harus dikorbankan. Ini bukanlah sebuah serangan terhadap satu bangsa namun menyerang kita semua sebagai warga global. Kita seharusnya menjadi kritis dan tanggap terutama terhadap aktor-aktor yang dengan sengaja bermain menggunakan kekerasan tanpa harus menjadi korban atau martir karena dengan tidak sengaja telah terlibat bahkan terekrut oleh aksi terorisme. Di masa-masa sulit ini, dengan masyarakat yang terfragmentasi dan banyak organisasi media menghadapi tantangan keuangan yang parah, para jurnalis harus menahan keinginannya untuk mengetahui hal-hal yang menarik mata, telinga maupun “panggilan” ketukan keyboard. Para jurnalis harus menjaga perspektif global, dan memperhatikan kata-kata yang mereka gunakan, contoh yang mereka kutip, serta gambar yang mereka tampilkan. Mereka harus menghindari spekulasi dengan bantuan jari jemari di dalam kebingungan akan adanya serangan yang tidak diketahui. Namun demikian permintaan akan diinformasi adalah yang terkuat dari semuanya.
Para jurnalis harus mempertimbangkan dengan cermat fakta bahwa ada sesuatu yang melekat dalam terorisme dengan tindakan kekerasan telah menimbulkan rasa takut berlebihan pada banyak hal. Dan para pemilik serta pengelola organisasi atau bisnis media hendaknya memastikan mereka tidak menempatkan diri beserta para staf jurnalisnya dalam bahaya untuk mengejar sebuah bahan berita. Pada akhirnya yang terutama dan paling penting, harus menghindari tersebarnya isu-isu kebencian dan radikalisasi dalam masyarakat.
Dengan memahami sentralitas media dan teknologi komunikasi yang merupakan aspek terpenting dalam kontra terorisme, media tradisional sebagai gatekeepers memiliki tanggung jawab khusus untuk menerapkan pengaruhnya secara hati-hati dengan dipandu oleh standart jurnalistik tertinggi. Raja media yang terkenal Rupert Murdoch pernah menyampaikan “Great journalism will always attract readers. The words, pictures, and graphics that are the stuff of journalism have to be brilliantly package; they must feed the mind and move the heart.”
(Jurnalisme yang hebat akan selalu menarik para pembacanya. Perkataan, gambar, dan grafis adalah perangkat jurnalisme yang harus secara cerdas dikemas; perangkat tersebut harus mengisi pikiran dan menggugah hati). *** SH Sarundajang, anggota Dewan Pers