Beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan bahkan tidak tuntas hingga proses pengadilan.
“Menurut saya itu harus dilakukan investigasi agar tak terjadi kecurigaan,” kata Rudiantara usai menutup acara World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Kamis ( 4/5/2017).
Sebagai eksekutif, ia sendiri mengaku tak bisa menginisiasi tindakan pendalaman kasus. Sebab dalam UU 40 Tahun 1999 tentang kebebasan pers, Pemerintah tak bisa mengintervensi.
Namun ada Dewan Pers yang bisa melakukan kerjasama dengan Penegak Hukum terkait hal ini. Berkaca pada kasus-kasus kekerasan selama ini, Rudiantara menyebut hanya 4 dari 70 lebih kasus yang dikategorikan sebagai kekerasan.
Lainnya setelah ditindaklanjuti ternyata hanya bersifat salah paham. Adapun Dewan Pers mengaku telah membuat kesepakatan dengan Polri dan TNI dalam rangka mencegah kekerasan. “Harus investigasi, sampai ketahuan apakah ini benar kasus kekerasan atau bukan,” kata Rudiantara.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta wartawan obyektif dalam menulis berita. Sikap itu merupakan kewajiban dan diperlukan oleh pekerja media. “Coba anda tulis dengan obyektif. Jangan mau hak tetapi tidak mau kewajiban,” kata JK -- demikian Jusuf Kalla akrab disapa -- usai membuka World Press Freedom Day 2017 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (3/5/ 2017).
Kekerasan kepada pewarta, menurut JK, salah satunya disebabkan isi berita. Karena itu perlu cara kerja obyektif dan memuliakan fakta dalam laporan jurnalistik. “Kalau anda menulis hal fitnah pasti orang marah juga kan,” sambung JK Terkait hal itu, UNESCO mendorong pihak berwenang untuk menginvestigasi setiap kasus kekerasan terhadap wartawan. Assistant Director General UNESCO Frank La Rue mengatakan, jurnalis merupakan profesi yang dilindungi baik ketika mencari informasi ataupun hak untuk melindungi narasumber.
Setiap kasus kekerasan terhadap wartawan baik kriminalitas maupun kesalahan, harus diungkap demi menghindari impunitas pelaku. “Kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum investigasi,” kata Frank.
Meningkat Tajam Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono mengatakan, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat tajam sejak 2015 hingga 2016. Pada 2014 tercatat ada 42 kasus kekerasan. Pada 2015, jumlahnya meningkat menjadi 44 kasus.
Kemudian pada 2016 naik menjadi 78 kasus. “Kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat tajam. Pada 2016 kenaikannya hampir 100 persen,” ujar Suwarjono dalam sesi diskusi di JCC, Rabu (3/5/2017).
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia sepanjang Mei 2016 hingga April 2017, telah terjadi 72 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sebanyak 38 kasus di antaranya berupa kekerasan fisik dan 14 kasus berupa pengusiran atau pelarangan liputan.
Menurut Suwarjono, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab utama meningkatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Tidak ada satupun para pelaku yang diproses hukum. Adanya pembiaran semacam itu, maka kekerasan terus terjadi. Orang dengan mudah merampas bahkan
menyerang jurnalis saat bertugas karena lemahnya penegakan hukum,” ujarnya. Selama dua tahun terakhir, tambah Suwarjono, tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diproses hingga tuntas. “Praktik impunitas terus berjalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis”, ujarnya. (metrotvnews.com/MI/ kompas.com)
Wartawan Korban Kekerasan
Kerap Pilih Damai
Wartawan korban kekerasan kerap menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Kekerasan kerap terjadi kepada wartawan yang memaksa narasumber memberi keterangan meski menolak diwawancara. “Ternyata banyak yang mengalami kekerasan memilih jalan damai dengan orang yang melakukan kekerasan. Kemudian mengganti peralatannya,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo di JCC, Selasa (2/5/2017)
Stanley membantah tudingan sejumlah pihak yang menyebut Dewan Pers kurang gesit menindaklanjuti laporan kekerasan. Stanley mengungkapkan, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 78 kasus kekerasan pada wartawan pada 2016. Namun, yang ditangani Dewan Pers hanya tiga sampai empat kasus. Sisanya diselesaikan dengan jalan damai.
Stanley mengatakan, pihaknya tak bisa melarang jurnalis menempuh jalan damai. “Dewan Pers tidak punya kewenangan melarang dan tidak bisa memaksa mereka menempuh jalur hukum,” terangnya. Menurutnya, kekerasan terhadap profesi jurnalis antara lain juga akibat sikap tidak profesional wartawan. Misalnya, ada pemaksaan kepada nara sumber untuk melakukan wawancara, padahal narasumber merasa terganggu. Ujungnya, kekerasan terjadi dan pewarta menjadi korban.
Atas dasar itu Dewan Pers menekankan pentingnya kompetensi wartawan dalam profesi jurnalistik. Bukan hanya terkait tulis menulis dan reportase tapi juga standar perilaku para pewarta. “Karena itulah Dewan Pers mendorong agar wartawan mengikuti uji kompetensi. Ada 27 lembaga penguji kompetensi, silahkan ikuti. Dewan pers tidak ikut menyelenggarakan,” ujarnya. (metrotvnews.com/Antara)