”, berjalan lancar dan dapat pujian dari sebagian peserta, terutama peserta luar negeri.
Beberapa peserta Internasional mengakui bahwa WPFD 2017 ini adalah WPFD paling meriah dengan peserta paling banyak selama 10 tahun terakhir. Total peserta mencapai 2.000 orang dengan 472 peserta internasional yang berasal dari 94 negara.
Pembukaan resmi dilakukan pada 3 Mei 2017 oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla dengan pemukulan gong yang dihadiri Dirjen UNESCO Irina Bokova, Menko Polhukam Jendral TNI Purn. Wiranto, Pimpinan DPR RI Fahry Hamzah, Menteri Kominfo Rudiantara, Menteri Pendidikan Prof. Dr. Muhajir Effendy. M.A.P., Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Prof. Dr. Arief Rachman, mantan Presiden Timor Leste dan pemenang Nobel Ramos Horta, dan sejumlah undangan lain. Termasuk sejumlah dutabesar negara sahabat.
Dalam kata sambutan, Jusuf Kalla menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen menjaga kemerdekaan pers. “Sejak reformasi, pers di Indonesia bebas. Siapa saja boleh membuat perusahaan pers. Untuk itu saya kira adalah penting
untuk menjaga kebebasan pers yang bertanggungjawab karena negara tidak lagi memberlakukan penyensoran. Oleh karena itu media harus menjadi sensor internal bagi institusinya,” ujar JK -- begitu sering disapa -- seraya menambahkan “kebebasan pers menimbulkan konsekuensi bahwa tanggungjawab bukan lagi pada censorship, tapi pada kredibilitas internal media dan masyarakat.”
Menurut JK, hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam kebebasan adalah ada keadilan di atas kebebasan. Di atas keadilan ada kedamaian yang harus tercipta. “Apabila media bebas tapi tidak ada kedamaian akan menimbulkan konflik. Dalam hal ini, tentu media harus bertanggung jawab,” kata JK.
Begitu juga sebaliknya, jika ketidakadilan atau konflik sedang terjadi di suatu bangsa, maka media harus berbuat sesuatu dalam upaya menciptakan keadilan atau berupaya meredam konflik itu. Media, kata JK, harus meluruskan penyimpangan sehingga terciptanya keadilan, perdamaian, dan kemajuan di suatu negara.
Gangguan Hoax Pada malam hari Presiden Joko Widodo datang menghadiri penyerahan Penghargaan “Guillermo Cano”. Pada WPFD 2017 ini yang mendapatkan penghargaan “Guillermo Cano” adalah seorang jurnalis asal Eritrea, Dawit Isaak yang sudah 15 tahun terakhir tidak diketahui keberadaannya, termasuk apakah ia masih hidup atau sudah mati. Pada malam itu Dawit Isaak diwakili oleh putrinya, Betlehem Isaak, yang kini mukim di Swedia.
Dawit meraih penghargaan atas keberanian, komitmen, serta perjuangannya membela kebebasan berpendapat. Dia pernah ditangkap pada September 2001 saat terjadi kericuhan dan penyerangan terhadap media di Eritrea, sebuah negara di kawasan Afrika. (Lebih lanjut tentang penghargaan ini di halaman lain – Red)
“Saya ingin memberi selamat kepada peraih penghargaan Guillermo Cano World Press Freedom Prize yang diwakili Nona Betlehem dan kepada anda semua insan pers, selamat merayakan hari kebebasan pers dunia yang begitu meriah,” kata Jokowi yang disambut tepuk tangan hangat dari hadirin.
Dalam sambutannya di tengah gala dinner, Presiden Jokowi menyampaikan penilaiannya bahwa peran media begitu besar dalam perjalanan demokrasi yang dinamis di Indonesia. Peranan media di Indonesia sejak zaman reformasi di Indonesia juga begitu penting dalam mengawal pemerintahan yang terbuka dan memberantas korupsi serta kebebasan politik. “Namun insan pers di Indonesia dan dunia saat ini tengah menghadapi gangguan berupa berita hoax dan berita palsu (fake news), “ kata Jokowi.
Ia menambahkan, lewat pencerahan oleh media, publik diselamatkan dari jalan sesat yang ditawarkan hoax. Pelurusan oleh media massa membuat masyarakat mendapat informasi yang benar. “Jangan ada berita yang nggak benar malah nggak diluruskan, malah
diangkat atau diviralkan,” kata Jokowi.
Untuk itu Presiden Jokowi mengajak semua pihak untuk ikut menanggulanginya. “Saya ingin mengatakan kepada anda para insan pers nasional dan kepada anda sekalian para insan pers internasional bahwa kami tidak dapat melakukannya tanpa partisipasi anda semua,” ujar Jokowi.
Diskusi-diskusi Dalam rangkaian peringatan WPFD 2017 ini, pada tanggal 1-2 Mei 2017 yang merupakan side event digelar berbagai diskusi dengan beragam topik dengan melibatkan semua konstituen Dewan Pers. Antara lain perihal berita hoax dan cara melawannya, keselamatan wartawan, media literasi dan jurnalisme warga, pengembangan televisi lokal, kebebasan pers di era konvergensi, verifikasi dan pengecekan fakta, dan lain-lain. Sedangkan pada tanggal 3 dan 4 diisi dengan berbagai diskusi panel dan diskusi pararel dengan topik-topik yang diminati oleh peserta dalam dan luar negeri. Hampir semua ruangan penuh karena diminati peserta.
Penutupan dilakukan oleh Menteri Kominfo Rudiantara pada tanggal 4 Mei malam yang dimeriahkan oleh pukulan puluhan bedug dol dari Bengkulu. Mewakili tuan rumah, Rudiantara menyerahkan patung garuda yang menyengkeram bola dunia dari bahan kayu kepada Asisten Dirjen UNESCO Frank La Roe. Patung tersebut secara simbolis nantinya akan diserahkan oleh Dutabesar Indonesia untuk Perancis, Hotmangaraja Panjaitan, di Paris kepada perwakilan negara yang
akan terpilih menjadi tuan rumah WPFD 2018. Kandidat tuan rumah WPFD 2018 belum diputuskan. Ada 2 negara yang akan dipilih yaitu antara India atau Colombia.
Rudiantara dalam pidato penutupannya menyatakan, “Suatu kehormatan bagi Indonesia menjadi tuan rumah World Press Freedom Day 2017. Indonesia telah bertekad untuk terus memberikan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari demokrasi dan hak asasi manusia,” ungkapnya.
Sebagai penutup Rudiantara mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dewan Pers dan UNESCO yang telah mensukseskan World Press Freedom Day 2017. “Saya percaya kolaborasi ini telah memberikan hasil bagi pengembangan kebebasan berekspresi di dunia,” kata Rudiantara.
WPFD 2017 menghasilkan Deklarasi Jakarta yang berisikan 74 butir kesepakatan di mana media diharapkan dapat berperan dalam mengembangkan perdamaian dan mendorong terwujudnya masyarakat yang inklusif di seluruh dunia.
Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah WPFD 2017 ini adalah sebuah kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia. Indonesia dipilih karena dinilai sebagai negara demokrasi no 3 terbesar di dunia yang memiliki puluhan ribu media dengan undang-undang yang menjamin kemerdekaan pers. Dan, atas kerja sama yang baik dari berbagai kementerian dan lembaga, Indonesia berhasil meletakkan standar pelaksanaan WPFD yang tinggi. Khususnya bagi pelaksanaan WPFD berikutnya. (Red/SAP) ***