Jatuhnya rezim otoriter Soeharto memang membuka Indonesia menjadi tanah subur bagi menjamurnya media. Buka saja situs Dewan Pers (http:// dewanpers.or.id/) kita temukan ratusan perusahaan media cetak, televisi, maupun radio dan siber yang terdaftar sebagai perusahaan media.
Tidak bisa dipungkiri hal ini dimungkinkan karena Undangundang Pers yang dengan tegas menyatakan hak bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Manfaatnyapun banyak. Cukup kita lihat berbagai berita di media massa dan terasa gairah yang tinggi dari berbagai media memperdebatkan berbagai gagasan yang di masa-masa sebelumnya diharamkan seperti persoalan korupsi, kebobrokan pembangunan infrastruktur, buruknya pelayanan publik, laporan ketimpangan kekayaan, dan bencana. Ambilah contoh kasus KPK vs. POLRI atau masyarakat Kendeng vs. PT Semen Indonesia.
Organisasi wartawan pun tidak lagi diharuskan tunggal; setidaknya terdapat Asosiasi Jurnalis Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia disamping Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun, potret media juga diisi dengan masih adanya praktek impunitas terhadap kekerasan wartawan dan kekerasan pada wartawan.
Untuk mendapat gambaran lebih utuh tentang perkembangan pers Indonesia Dewan Pers mengembangkan INDEKS KEMERDEKAAN PERS (IKP). Sebagaimana ditentukan dalam UU Pers konsep Kemerdekaan Pers yang dijadikan dasar pengukuran IKP adalah Hak Asasi atas Kemerdekaan Pers. Hal ini mencakup ‘kebebasan dari’ dan ‘kebebasan untuk’.
Pers yang bebas tidak semata bebas dari campur tangan atas kerja pers, akan tetapi juga meliputi penggunaan kebebasan itu untuk menyampaikan informasi secara akurat, meliput dengan jujur, dan se-imparsial mungkin sehingga kepentingan publik diutamakan.
Sebagaimana dilaporkan dibalik angka-angka ‘dingin’ indeks berlangsung proses panjang dan berliku sejak penyusunan konsep, uji coba instrumen, dan survei itu sendiri melibatkan tidak kurang dari 95 peneliti di tingkat provinsi dan 9 di nasional, mewawancarai 303 orang yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia dan berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan. Tim penyusun laporan inipun adalah koordinator dengan tim peneliti nasional serta sejumlah peneliti di masing-masing provinsi. Hasil survei ini berupa pengukuran kemerdekaan pers di tingkat provinsi dan nasional.
Status Kemerdekaan Pers Dari proses survei Tim Dewan Pers mengungkapkan temuan pokok. Pertama, tentang status Kemerdekaan Pers Indonesia masuk dalam kategori ‘agak bebas’ dengan skor rata-rata 62.81. Skor rata-rata di bidang ekonomi, politik dan hukum tidak terpaut jauh satu dengan yang lain maupun dengan skor rerata.
Ketika melihat lebih lanjut pada 20 indikator utama hanya kebebasan wartawan /media dari kriminalisasi dan intimidasi mendapat skor 78.21 yang artinya bebas. Sebagian besar lainnya di kisaran 70 (agak bebas), dan sisanya di bawah 55 (kurang bebas). Yang termasuk di dalam status ‘agak bebas’ adalah kebebasan berserikat (69.90), kebebasan dari kekerasan (62.81), kebebasan mempraktekan jurnalisme (62.24) dan independensi dari kelompok kepentingan dengan skor sedikit di atas status ‘kurang bebas’ yaitu 56.40. kesetaraan akses kelompok rentan/ penyandang disabilitas mendapat nilai yang buruk.
Di dalamnya juga terdapat perbandingan status kemerdekaan pers masing-masing provinsi; dimana hanya empat provinsi yang masuk dalam kategori ‘cukup bebas’ dan dua dalam kategori ‘kurang bebas’ dan sisanya dalam kategori ‘agak bebas’. empat provinsi tersebut adalah Kalimantan Barat, Aceh, Riau dan Kalimantan Selatan. Sedangkan yang kurang bebas adalah Papua Barat dan Bengkulu.
Kedua, dikemukakan bahwa secara umum aspek-aspek yang menyangkut ‘kebebasan dari’ sudah cukup bebas dibanding aspek-aspek yang menyangkut kinerja media/ wartawan dalam memproduksi berita yang berkualitas. Afiliasi perusahaan pers dengan kekuatan politik setempat dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang berkepentingan melemahkan independensi media ditengarai sebagai faktor yang menentukan buruknya kualitas media.
Ketiga, disebutkan bahwa jurnalisme warga menjadi sumber informasi alternatif yang bermanfaat bagi publik [h.414], di sisi lain ketergantungan perusahaan media di provinsi terhadap sumber dana pemerintah masih tinggi demikian pula dengan suap [h.416-7]
Perlu lebih “Berwarna” Tidak ada ganding yang tidak retak. Demikian pula dengan Laporan IKP 2016 ini. Penyajian temuan-temuan masih dapat dilakukan dengan lebih ‘berwarna’ sehingga kegersangan angka tetap menjadi menarik. Salah cetak juga masih banyak ditemukan. Analisa mengenai sebab dari skor atau status kemerdekaan pers perlu diperkaya.
Semoga buku ini tetap menarik untuk dibaca sebagai upaya awal menghadirkan Indek Kemerdekaan Pers. Telah banyak indeks dilahirkan tentu pertanyaannya untuk apa. Dari indikator yang ditetapkan pembaca dapat memiliki rujukan untuk menilai sesuatu dalam hal ini Kemerdekaan Pers tidak secara “gebyah uyah”.
Kedua, melalui indeks ini publik dapat menemukan aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian untuk pengembangan pers yang berkualitas dan menemukan perbandingan antar waktu pun antar wilayah. Disamping itu buku ini dapat mengkaitkan dengan indeks-indeks yang lain seperti Indeks Pembangunan Manusia atau Indeks Demokrasi. (Etika/APH)