Demi keberimbangan, saya ingin memberi informasi khususnya tentang dua hal berikut.
Tajuk Koran Tempo menyatakan, pertama, verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers tindakan gegabah. Apa yang dikerjakan Dewan Pers sesungguhnya untuk memenuhi perintah UU No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Pasal 15 (2) a UU Pers mengamanatkan fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Pada bagian Menimbang huruf c UU Pers menegaskan, pers nasional harus dapat melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
Profesional berarti, pertama, dari segi kelembagaan, setiap perusahaan pers wajib berbentuk badan hukum Indonesia (Pasal 9 UU Pers), dan wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka. Untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan (pasal 12).
Kedua, dari segi penyelenggaraan pekerjaan jurnalistik, pers berfungsi menyampaikan informasi. Maksudnya informasi itu harus faktual dengan fakta jurnalistik yang benar. Fungsi pers juga untuk mengedukasi bangsa dan melakukan fungsi kontrol sosial (pasal 3). Pers juga berperan melakukan pengawasan, kritik dan koreksi untuk kepentingan umum (pasal 6). Selain itu, pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi (pasal 4). Pers dalam melaksanakan pekerjaan jurnalistik di atas wajib menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7).
Dalam perkembangannya terjadi ledakan media. Ironisnya dari puluhan ribu media sebagian besar tidak memenuhi standar keprofesionalan, tidak berbadan hukum, tidak menaati Kode Etik Jurnalistik. Dari ribuan media yang diadukan ke Dewan Pers, sejumlah media terkesan intensinya hanya untuk menguber amplop, memeras, menghakimi, berbohong, memfitnah, dan beritikad buruk. Sejumlah juru bicara instansi pemerintah mengeluh, media centre yang mereka sediakan dipenuhi oleh wartawan abal-abal.
Dewan Pers kini melaksanakan verifikasi media, yang adalah bagian dari pelaksanaan fungsi Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers dari penumpang gelap yakni media abal-abal dan sebagian media sosial. Memedomani Pasal 15 UU Pers, Dewan Pers ditugasi memfasilitasi organisasi pers untuk menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan. Dewan Pers di bawah kepemimpinan Ketua Prof Dr Ichlasul Amal berhasil menerbitkan landasan keprofesionalan pers, sebagai turunan dari pasal-pasal UU Pers sebagaimana dikemukakan di atas.
Landasan keprofesionalan tersebut dideklarasikan pada Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2010 di Palembang. Isi pokoknya kesediaan perusahaan pers untuk meratifikasi empat Peraturan Dewan Pers: (1) komit memenuhi Standar Kompetensi Wartawan; (2) komit mematuhi Kode Etik Jurnalistik; (3) komit mematuhi Standar Perusahaan Pers; dan (4) komit mematuhi Standar Perlindungan Profesi Wartawan. Setelah tujuh tahun disosialisasikan, pada HPN 9 Februari 2017 di Ambon, Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo secara resmi mencanangkan pemberlakuan verifikasi media.
Nantinya, media cetak dan online terverifikasi akan diberi Quick Response (QR) Code yang tersambung dengan database Dewan Pers tentang data perusahaan tersebut. Sedangkan media televisi dan radio akan mencantumkan bumper tanda terverifikasi pada program berita yang ditayangkan. Kemudian, menyusul telah terverifikasinya 77 media, semua media yang merasa telah memenuhi ketentuan UU Pers pasti akan lolos verifikasi.
Kedua, Dewan Pers disebut menabrak aturan karena menyatakan tak akan memberi bantuan tehadap media yang tak tercantum dalam daftar verifikasi. Sejak berlakunya Nota Kesepahaman Dewan Pers – Polri (9/2/2012), menyikapi perkara media yang dilaporkan, Polri berkoordinasi dengan Dewan Pers.
Selama ini pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers kepada Polri tercatat sebagai berikut:
Pertama, perkara yang dilaporkan adalah perkara pers. Polri memahami, perkara itu diselesaikan di Dewan Pers.
Kedua, perkara yang dilaporkan terindikasi melanggar UU Pers, misalnya, karena media terkait menolak melayani hak jawab. Rekomendasi Dewan Pers, pengadu dapat memprosesnya ke jalur hukum dengan pedoman UU Pers.
Ketiga, Dewan Pers menemukan media yang dilaporkan adalah media abal-abal. Karena, tidak berbadan hukum dan/ atau tidak memenuhi standar jurnalistik. Pengadu dapat memprosesnya ke jalur hukum dengan mempedomani UU lain. Jika ditemukan bahwa media yang dilaporkan adalah media sosial, Dewan Pes menyatakan kewenangan penyelesaiannya ada di tangan penegak hukum.
Merujuk penjelasan di atas, tidak ada aturan yang ditabrak oleh Dewan Pers jika sengketa berita oleh media abal-abal dan media sosial tidak bisa dibantu oleh Dewan Pers agar sengketa beritanya diselesaikan sebagai perkara pers dengan pedoman UU Pers.
Sebagai poin penutup, ada satu masukan untuk Dewan Pers. Membiarkan media tidak profesional bebas beroperasi lebih dari 17 tahun telah berakibat ikutan bukan hanya telah mencederai kemerdekaan pers dan tidak terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, tapi penertibannya pun kini mengundang perlawanan. *** Sabam Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers 2006-2010
Dimuat Koran Tempo 5 Februari 2017